VI

307 20 1
                                    

Bara melirik arloji di tangan kanannya yang saat ini telah menunjukkan pukul 23.00 WIB ketika ia terbangun. Bara tersadar ia masih tertidur memeluk tubuh Alora untuk menenangkan gadis itu tadi.

Laki-laki itu memeriksa keadaan Alora yang masih pulas terlelap di pelukannya. Bara secara perlahan mencoba mengambil tangannya yang dijadikan bantal oleh Alora. Tubuh Alora sedikit menggeliat saat Bara memisahkan diri dan turun dari ranjang Alora.

Bara mengusap lembut puncak kepala Alora yang masih terlelap nyenyak. Gadis itu sepertinya benar-benar kelahan karena terlalu banyak menangis.

Tangan Bara kemudian meraih gunting kuku yang berada di resleting tas pedang anggar Alora. Ia kemudian secara perlahan mulai memotong kuku-kuku tangan Alora dan mengikir kuku gadis itu hingga tumpul. Setelah selesai dengan kuku Alora, Bara menyelimuti gadis itu, ia kemudian mengusap sayang puncak kepala Alora.

CUP! Satu kecupan mendarat di kening Alora.

CUP!

CUP! Bara mencium kedua kelopak mata Alora yang bengkak karena terlalu banyak menangis itu. Ibu jarinya juga sempat mengusap pelan kelopak mata Alora yang masih terpejam tenang. Sedari dulu ia selalu membenci melihat air mata Alora. Ia benci melihat mata cokelat Alora yang cantik harus kehilangan binarnya karena menangis. Bara benci apapun yang membuat Alora sedih, sangat!

Sejak pertama kali ia bertemu dan mengenal Alora ketika dirinya pindah ke Bandung, Bara yang masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar saat itu entah mengapa selalu memiliki insting untuk ingin bisa melindungi Alora dari apapun.

Ia tidak suka melihat Alora sedih dan takut. Di mata Bara, Alora adalah gadis lugu dan penyayang yang paling manis yang pernah ia temui. Tak boleh ada yang mengusik Alora-nya yang lugu dan manis itu. Ya, Bara sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama pada Alora sejak kali pertama mereka bertemu.

Bara pikir awalnya itu hanya rasa peduli antar teman biasa, dan jikalau pun itu cinta, Bara rasa itu pasti hanya cinta monyet semata. Namun, semakin beranjak remaja Bara menyadari itu bukan hanya cinta monyet, melainkan Bara benar-benar mencintai gadis itu. Ia bahkan tak suka jika Alora terlalu dekat dengan laki-laki lain, bahkan Bara pernah cemburu pada Tio-mendiang teman komplek mereka yang saat itu sebangku dengan Alora ketika mereka di kelas satu sekolah menengah pertama.

Ketika duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, akhirnya Bara memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada Alora yang ternyata juga sudah menyukainya sejak ia kali pertama melihat Bara pindah ke Bandung.

Tentu saja Bara senang ketika perasaannya terbalas. Bagi Bara, Alora adalah cinta pandangan pertama sekaligus cinta pertamanya, begitu pun sebaliknya bagi Alora.

Sebelum benar-benar keluar meninggalkan Alora, Bara menatap lekat sekali lagi wajah kekasihnya yang terlelap itu. Kedua kelopak mata yang lebam, hidung mancung Alora yang memerah, serta bibir ranumnya terlihat membengkak. Alora tetap cantik, bahkan mahakarya Tuhan yang paling cantik di mata Bara, tidak peduli apapun kondisinya. Bara selalu berdoa dalam hatinya agar tidak ada hal apapun di dunia ini yang membuat Alora-nya itu bersedih, apalagi sampai menangis.

Ia tak pernah kuasa untuk melihat air mata Alora jatuh, karena sakit yang Alora rasakan akan membuat Bara juga ikut merasakannya. Sama halnya dengan bahagia yang Alora rasakan, juga akan membuat Bara jauh lebih bahagia ketika melihat senyum kekasihnya yang manis itu.

Bara menutup pelan, sangat pelan pintu kamar Alora agar gadis itu tak terbangun. Orang pertama yang ia temui setelah turun dari lantai dua rumah Alora adalah Liana-Bunda Alora yang tengah duduk di meja makan sendirian.

"Tante saya pamit pulang dulu ya," pamit Bara.

"Iya Bara, terima kasih banyak ya."

"Baik Tante, sama-sama. Saya permisi."

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang