XXI

165 16 2
                                    

Langit sore terlihat begitu cantik dengan sedikit semburat jingga ketika Alora berjalan memasuki pekarangan rumah yang dipenuhi hamparan rumput hijau itu. Keadaan di sekitar pekarangan rumah berarsitektur Belanda itu masih terlihat berantakan karena sedang dalam tahap renovasi.

Gadis yang saat ini tengah menenteng paper bag putih itu dapat melihat si pemilik baru rumah tersebut tengah sibuk memasang beberapa lampu gantung di atas pekarangan rumahnya.

"Hai Ra!" Sapa Mahendra yang rupanya mengetahui keberadaannya bahkan sebelum Alora sempat menyapanya lebih dulu.

Laki-laki itu kemudian turun dari tangga lipat yang tadi sempat dipijaknya untuk memasang lampu-lampu hias gantung berwarna warm white yang dipasang mengitari hampir seluruh bagian langit-langit bagian depan pekarangan rumahnya.

Mahendra lantas mengulas senyuman manisnya ketika ia sudah ada di hadapan Alora.

"Ra, boleh melambai ke arah sana?" Mahendra menunjuk ke arah samping kanan pekarangan rumah, tidak jauh dari tempat keduanya kini berdiri terdapat handycam yang tengah menyala. Menandakan sedang melakukan perekaman video.

Dengan tersenyum kikuk, Alora melambai kaku ke arah handycam yang Mahendra maksud.

"Untuk arsip dokumentasi momen aja, Ra. Aku suka ngerekam sesuatu, karena menurutku setiap momen itu penting dan berkesan. Kamu jadi perempuan pertama yang masuk frame handycamku untuk dokumentasi pembangunan kafe ini," jelas laki-laki itu.

Alora hanya dapat tersenyum mendengarnya.

"Oh iya Mahendra, terima kasih ya untuk dua hari yang lalu. Ini jaket kamu udah aku cuci," ujar Alora seraya menyerahkan paper bag putih berisi jaket kulit milik Mahendra yang tempo hari lalu ia dapati menyelimuti tubuhnya ketika tidur di sofa.

Mahendra tersenyum lalu menerimanya. "Sama-sama, Ra. Maaf aku keluar dari rumah kamu gak pamit, aku gak mau ganggu tidur kamu,"

"Iya, Mahendra aku ngerti. Sekali lagi terima kasih ya,"

"Iya, Ra."

Manik cokelat Alora kemudian memandang ke sekitar. Mengamati beberapa perubahan yang telah Mahendra buat pada bekas rumah mendiang Pak Darno itu.

Sebenarnya tidak terlalu banyak yang berubah dari rumah tersebut menurut Alora. Mahendra hanya merobohkan sekat pendek antara rumah dan pekarangan, lalu untuk bagian jendela ruang tamu Mahendra sepertinya memberikan sedikit renovasi dan pelebaran area. Berdasarkan yang bisa Alora amati, ia menebak bagian tersebut mungkin akan dirubah menjadi kasir.

Lalu untuk langit-langit pekarangan sudah sepenuhnya dipenuhi lampu-lampu gantung cantik dengan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi namun tetap terkesan terang dan hangat.

"Jadi, kafenya kapan buka?" Tanya Alora.

"Mungkin dua atau tiga minggu lagi. Aku masih nunggu pesanan meja kursi, mesin kopi dan masih harus ganti beberapa dinding rumah ini dengan jendela kaca, supaya nuansa kafe bagian indoor lebih terang."

"Kamu mau minum apa, Ra?" Tawar Mahendra.

"Kopi atau teh?"

"Mahendra gak perlu terlalu repot, aku cuma mau nganterin jaket kamu aja."

"Gak bisa gitu, Ra. Sudah mampir berarti sudah bertamu. Ayo kamu mau minum apa? Kamu harus nyoba kopi racikan aku sih,"

"Teh aja Mahendra kalau boleh, aku lagi gak bisa minum kopi sekarang, takut gak bisa tidur. Besok harus bangun pagi soalnya."

Beberapa menit kemudian, Mahendra sudah kembali dengan secangkir teh di tangannya. Ia lalu menyuguhkan teh buatannya itu ke Alora yang tengah duduk di anak tangga di depan rumahnya.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang