XXIV

137 16 3
                                    

Alora tidak henti-hentinya mengacungkan jempol atas kinerja Desy untuk kebun teh miliknya. Gadis mungil dengan pipi berisi itu memang harus Alora akui hebat dalam urusan bisnis, Desy benar-benar berbakat untuk menjadi pengusaha hebat jika ia mau.

Bagaimana tidak, omset kebun teh Alora pada beberapa bulan terakhir ini begitu melejit pesat di tangan Desy. Bahkan istri Pak Jajang pun juga turut memuji bagaimana cara Desy mengelola dan membesarkan kebun teh milik mendiang Liana itu. Hal lain yang lebih mengejutkan lagi adalah Desy berencana untuk melakukan pembesaran kebun teh miliknya. Siang tadi Desy meminta izin pada Alora untuk rencananya itu, tidak lupa gadis itu juga menjelaskan alasan dan keuntungan jika Alora bersedia memberinya izin untuk membeli lahan teh baru.

Desy juga sudah menyiapkan rencana besar untuk mentarget beberapa pabrik-pabrik teh besar serta pasar pengepul teh yang lebih jauh lagi untuk dijangkau oleh perkebunan miliknya. Tentu saja tanpa perlu berpikir panjang Alora langsung mengiyakan semua rencana Desy tersebut. Merekrut Desy sebagai penanggung jawab kebun teh miliknya untuk menggantikan Pak Jajang yang sakit seperti memang sebuah keputusan tepat. Alora sama sekali tidak meragukan kemampuan Desy pada bidang ini.

Malam ini adalah malam terakhirnya menginap di rumah kebun teh milik mendiang Liana ini, karena besok ia sudah harus kembali lagi ke kota Bandung. Lagipula, Alora juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini, karena sungguh demi apapun setiap sudut tempat ini begitu mengingatkannya pada sosok Liana, membuatnya begitu sedih dua hari belakangan ini.

Alora menutup beberapa jendela di rumah yang ia tinggali selama dua hari itu. Desy sudah tidur sejak tadi setelah makan malam bersama, sementara Mahendra. Ah, benar juga dimana laki-laki itu? Alora tidak melihat Mahendra sejak selesai makan malam tadi.

Gadis itu meraih ponselnya, mengetikkan pesan yang kemudian ia kirimkan pada kontak Mahendra, menanyakan keberadaan laki-laki itu. Tidak butuh waktu lama, karena Mahendra adalah tipekal orang yang cepat merespon pesan, Alora sudah mengetahui dimana keberadaan laki-laki itu berdasarkan penjelasan pada pesan yang diterimanya dari Mahendra.

Alora lalu segera mengambil jaketnya di kamar, kemudian bergegas pergi meninggalkan rumah. Ia juga tidak lupa mengunci rumah tersebut sebelum pergi.

.
.
.

Mahendra memang menyebalkan, Alora tidak henti-hentinya mengutuk laki-laki itu dalam batinnya karena gara-gara Mahendra, Alora saat ini jadi harus berjalan sendirian di kebun teh miliknya malam-malam dengan hanya bermodal senter sebagai alat bantu penglihatannya.

Bagaimana tidak, Mahendra mengatakan bahwa dirinya saat ini tengah berada di rumah pohon yang menjadi pos pantau perkebunan teh miliknya, sementara letak rumah pohon tersebut berada di tengah perkebunan teh miliknya yang sangat luas. Ia menyesal sekarang karena berinisiatif untuk menyusul Mahendra tadi. Jika tahu bahwa menuju ke rumah pohon harus sesulit dan segelap ini, lebih baik ia memilih untuk tidur saja bersama Desy tadi.

Alora selalu benci gelap, apalagi kegelapan malam di daerah pedesaan seperti ini semakin membuatnya merasa takut dan sedikit kesulitan bernapas, belum lagi hawa dingin yang semakin menusuk kulitnya meski ia sudah mengenakan jaket tebal.

Sesekali Alora mendongak ke atas, untuk melihat seberapa jauh lagi letak rumah pohon tersebut. Alora dapat memperkirakan jarak antara dirinya dan rumah pohon itu sekitar 70 meter lagi, namun ketika kembali mengamati rumah pohon tersebut, Alora merasa ada hal yang janggal dari rumah pohon tersebut.

Alora tidak lagi melihat sosok Mahendra di sana, padahal tadi sebelum masuk ke area perkebunan dan mencapai hampir titik tengah perkebunan, sungguh ia sempat melihat laki-laki itu tengah duduk sendirian di atas rumah pohon tersebut dengan mengenakan kaus hitam dan jeans sobek khas seorang Mahendra.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang