Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi ketika Alora sibuk menyirami bunga-bunga yang ada di pekarangan rumahnya. Bunga-bunga tersebut ditanam oleh Desy ketika Alora masih tinggal di asrama atlet. Agar pekarangan rumah Alora tidak terlihat gersang, katanya.
Alora sedikit melirik ke rumah yang berseberangan dengan dirinya, rumah dengan ciri khas bangunan Bandung berarsitektur Belanda itu memang belum lama kosong. Seingat Alora sebelum gadis itu pindah ke asrama atlet, rumah itu masih dihuni oleh penghuni lamanya, Pak Darno namanya. Pak Darno merupakan lelaki paruh baya yang sangat baik juga ramah pada orang-orang sekitar, sayangnya lelaki itu hanya tinggal sendirian di rumah tersebut karena semua anaknya merantau ke Sulawesi, juga Batam.
Namun setelah Alora keluar dari asrama atlet dan tinggal kembali di rumahnya, ia sedikit terkejut ketika melihat papan bertuliskan rumah dijual sudah menggantung di pagar rumah Pak Darno. Menurut informasi yang ia dapat dari tetangganya-Bu Prita, rumah itu dijual tepat seminggu ketika Pak Darno tutup usia sebab sakit asma yang dideritanya. Jujur, Alora juga sempat sedih mendengar berita tersebut mengingat bahwa Pak Darno adalah sosok tetangga yang baik padanya selama masih hidup.
Rumah bercat putih abu itu berukuran lebih kecil dari rumah Alora dan hanya terdiri dari satu lantai, namun pekarangannya lebih besar daripada pekarangan rumah Alora, sehingga menampilkan kesan rumah yang begitu luas.
Asik mengamati rumah tersebut, tiba-tiba Alora melihat sosok Mahendra tengah sibuk membuka jendela-jendela yang ada di rumah tersebut. Pandangan keduanya pun bertemu begitu saja.
Seperti sebelum-sebelumnya, Mahendra langsung tersenyum melihat Alora, menampilkan senyum yang begitu manis untuk ukuran seorang laki-laki. Alora bisa menebak bahwa Mahendra adalah sosok laki-laki yang tergolong ramah hanya dari bagaimana cara laki-laki itu tersenyum padanya.
Alora membalas senyuman yang dilemparkan Mahendra padanya dengan ramah, ia kemudian mengalihkan pandangannya dan kembali fokus menyirami bunga di pekarangan rumahnya.
"Pagi, Ra!" Sapa Mahendra yang ternyata sudah berada di depan pagar rumah Alora, membuat gadis itu menoleh.
"Hai, pagi Mahendra."
"Boleh masuk, Ra?" Izin Mahendra.
"Iya, boleh."
"Suka bunga, Ra?" Tanya Mahendra membangun topik pembicaraan.
"Oh enggak terlalu kok, ini temenku yang nanam pas aku gak di sini."
"Loh emangnya kamu sebelumnya tinggal dimana, Ra?"
"Di asrama atlet sih,"
"Woah, aku lagi ngobrol sama atlet ini berarti."
Alora tersenyum simpul, "Lebih tepatnya mantan atlet." Sanggahnya.
Mahendra seketika menjadi kikuk. "Oh maaf ya aku gak tau, Ra."
"Gak papa Mahendra."
Alora hendak membungkukkan tubuhnya untuk menggulung selang air yang ia gunakan untuk menyiram tanaman, namun Mahendra lebih dulu membantunya.
"Gak perlu repot-repot, Mahendra."
"Gak masalah, Ra. Ini taruh mana?"
Alora menunjuk ke tempat kran air berada. "Makasih ya, Mahendra."
"Ra, kamu asli orang Bandung? Sudah lama tinggal di sini 'kan?"
Alora mengangguk, "Iya, aku asli Bandung dan sudah tinggal di sini sejak kecil."
"Tau toko untuk beli perabotan rumah?"
"Iya tau, ada di daerah yang gak jauh kok dari sini. Di sekitar pertokoan Darmawangsa."

KAMU SEDANG MEMBACA
NEBARA
Fanfic"Jika menurut orang-orang definisi rumah untuk pulang akan selalu berbentuk manusia, maka aku harap kamu adalah satu-satunya manusia dan selamanya rumah berbentuk manusia itu untukku berpulang di masa lalu, masa sekarang, maupun masa mendatang." -NE...