XIII

258 24 2
                                    

-Asrama Atlet kota Bandung, 2008-

Januari, 2008
.
.
.
.
Februari, 2008
.
.
.
.
Maret, 2008
.
.
.
.
April, 2008
.
.
.
.
Mei, 2008
.
.
.
.
Juni, 2008
.
.
.
.
Juli, 2008
.
.
.
.
Agustus, 2008
.
.
.
.
September, 2008
.
.
.
.
Oktober, 2008
.
.
.
.
November, 2008

Lagi, Alora kembali berhasil memenangkan pertandingan anggar tingkat provinsi untuk kedua kalinya. Namanya benar-benar melejit hebat di dunia anggar, bahkan selalu menjadi topik hangat perbincangan media olahraga Bandung. Benar-benar atlet muda yang terbilang sukses mendongkrak popularitasnya sendiri.

Gadis itu kemudian turun dari podium ketika serah terima medali dan foto bersama telah selesai dilakukan. Rangkaian bunga dari teman-teman dan pendukungnya memenuhi kedua tangan gadis itu. Dengan hati-hati karena kesulitan melihat jalan akibat rangakaian bunga yang hampir menutupi setengah badannya, Alora berjalan menuju ruang ganti untuk berganti baju.

Sesampainya di ruang ganti, Alora meletakkan bunga-bunga itu di atas kursi panjang di pertengahan lorong ruang ganti.

Tangannya selalu meraba kalung pemberian Bara ketika ia selesai bertanding. Sebuah ritual yang selalu ia lakukan beberapa bulan belakangan ini untuk mengobati rindunya, setidaknya hanya dengan melakukan hal tersebutlah Alora tetap menganggap Bara masih selalu setia di sisinya dan berada di sekitarnya, menamainya serta menjaganya seperti Bara di tahun-tahun sebelumnya.

"Bara, aku menang lagi." Gumam gadis itu lirih dengan penuh rasa bangga.

Meskipun sampai saat ini Alora masih belum menemui Bara sejak dua tahun lalu, setidaknya Bara masih menjadi semangat terbesarnya dalam menjalani hidup. Bara akan selalu menjadi rumah yang meskipun bentuknya tak bisa Alora lihat untuk saat ini, tapi hangat dan dekapnya akan selalu Alora ingat sampai kapanpun, karena bagi Alora, Bara adalah selamanya rumah pulangnya setelah semua kesulitan dan kehilangan yang ada di hidupnya. Bara akan selalu menjadi harapan dan semangat Alora, selalu dan sampai kapanpun.

Tidak peduli seberapa lama atau seberapa jauh sebuah cinta, bukankah cinta memang harusnya saling menguatkan, bukan melemahkan iya 'kan?

***

Alora masih berkutat dengan laptopnya di meja belajar kamar asramanya. Sedari tadi jari-jemarinya tak henti menari di atas keyboard laptop dengan terus mengetikkan keyword yang sama, yaitu nama Bara.

Ini sudah keempat kalinya di tahun ini Alora terus mencari tahu tentang Bara, akan tetapi selalu saja ia tak pernah sekalipun menemukan nama Bara Pradipta Wijaya di seluruh ruang lingkup internet, bahkan di seluruh jenis sosial media yang sedang terkenal di era ini sekalipun. Bara bak hilang di telan bumi begitu saja.

Sejujurnya Alora memang merasa tidak apa-apa jika Bara tidak di sampingnya, akan tetapi Alora hanya ingin tahu saja bagaimana keadaan Bara saat ini. Bagaimana rupa dan kondisi laki-laki itu setelah dua tahun lamanya mereka tidak bertemu. Gadis itu sangat merindukan Bara dan hanya ingin melihat laki-laki itu agar rindunya sedikit terobati.

Tidak peduli seberapa lama ia terpisah dengan Bara, sejujurnya Alora sama sekali tidak pernah berpikiran buruk mengenai status hubungannya dengan Bara yang meskipun saat ini mereka tidak pernah bertemu atau saling berkomunikasi untuk bertukar kabar, karena Alora selalu menaruh kepercayaan yang setinggi-tingginya pada Bara. Alora yakin Bara akan selalu setia padanya, karena ia sangat memahami betapa Bara mencintanya, begitupun sebaliknya.

Sekali lagi, Alora hanya ingin melihat laki-laki itu, meskipun hanya diberikan kesempatan melihat wajah Bara melalui foto di sosial media yang sayangnya nihil ia temukan.

Kembali berusaha berdamai dengan kegagalannya untuk melihat Bara atau mengetahui kabar Bara, Alora lagi-lagi hanya bisa mencurahkan isi hati dan kerinduannya pada lembaran-lembaran kertas yang seperti biasanya akan berakhir dengan ia masukkan ke box bermotif tentara di atas nakas samping tempat tidurnya.

Alora benar-benar tidak pernah mengirimkan surat lagi pada Bara sejak kali terakhir laki-laki itu mengirimkan surat padanya yang memintanya untuk menyimpan semua suratnya agar laki-laki itu bisa membacanya secara langsung semua surat yang ditulis Alora.

Sebenernya Alora juga hampir frustasi dengan keinginannya yang besar untuk bisa berkomunikasi dengan Bara lagi, akan tetapi sepertinya takdir memang tidak berpihak padanya di dua tahun belakangan ini.

Merasa lelah, Alora akhirnya memilih untuk merebahkan dirinya dan tidur saja untuk menghabiskan akhir pekannya di asrama.

***

Desember, 2008

Alora menaruh kembali ponselnya di saku jaket jeans milik Bara yang saat ini ia kenakan. Setidaknya ia masih bisa merasakan kehangatan dekapan Bara melalui jaket laki-laki tersebut, meskipun bau khas Bara dari jaket jeans tersebut sudah hilang sejak lama ketika Alora beberapa kali mencuci jaket tersebut di tahun-tahun sebelumnya.

Gadis itu tersenyum pedih ketika Bara untuk entah yang keberapa ratus kalinya tidak menjawab telepon darinya. Alora bahkan sempat pergi ke rumah Bara, meskipun ia tahu tidak akan ada siapapun di rumah itu. Ia hanya bisa menghembuskan napas pasrah karena nyatanya tahun ini ia harus kembali merayakan malam tahun baru sekaligus perayaan ulang tahunnya dan Bara sendirian lagi.

Mencoba untuk tetap tegar seperti tahun kemarin, Alora menyalakan seluruh lilin di kue tart cokelat yang ia bawa tepat pada pukul 23.57 WIB di rumah kosong tua yang selalu menjadi tempat terbaiknya menikmati tahun baru serta pemandangan kembang api yang saling bersautan di langit malam kota Bandung.

"Bara, harusnya kamu bantuin aku sekarang nyalain lilin," cicitnya lirih.

Ketika dirasa semua lilin telah menyala, Alora kemudian menundukkan kepalanya hikmat, memulai merapalkan doa yang tidak pernah berubah itu.

"Semoga aku dan Bara akan selalu sehat dan bahagia dimanapun kami berada. Semoga Bara akan selalu ada untuk aku apapun yang terjadi, semoga Bara selalu dilingkupi oleh hal-hal baik di setiap langkahnya, semoga cita-cita Bara Pradipta Wijaya untuk jadi Jenderal selalu dipermudah, Tuhan. Semoga semua harapan baik selalu terlangitkan untuk Bara, dan semoga Bara selalu dalam lindunganmu. Amin."

Selesai dengan doanya, Alora kemudian menyingkirkan semua butter cream di pinggiran kue tart cokelat kesukaannya lalu melahap suapan pertama untuk dirinya sendiri.

Seakan teringat sesuatu, gadis itu melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Bara, kamu harus tau kayanya warga Bandung telat buat nyalain kembang apinya. Sekarang udah jam 00.01 WIB padahal," gumam gadis itu seakan Bara berada di sisinya.

Tepat setelah gumamannya, satu kembang api berwarna biru muda terlihat meluncur ke atas langit kota Bandung, memecah hening malam tahun baru yang sepertinya memang sedikit terlambat malam itu. Detik berikutnya kembang api lainnya dengan warna yang berbeda-beda terlihat menyusul membelah langit gelap kota Bandung di malam hari. Rangkaian kembang api itu kemudian terpecah menjadi ledakan-ledakan kecil yang selalu nampak cantik di mata Alora.

Terima kasih kepada kembang api warga Bandung yang selalu cantik nan meriah serta kue tart cokelat kesukaannya, karena selalu ada dan merayakan tahun baru bersamanya selama Bara tidak ada di sisinya. Alora harap tidak pernah ada yang berubah dari suka cita suasana yang kini dinikmatinya.

Udara dingin kota Bandung yang begitu menusuk kulit dari atas atap rumah kosong tua, riuh kembang api yang saling muncul bersautan, dan rasa kue tart cokelat dari toko kue langganannya yang tidak pernah berubah dari masa ke masa. Semoga ia selalu bisa diberi kesempatan untuk selamanya menikmati suasana ini.

Hanya ada satu hal yang boleh berubah dari suasana ini, yaitu kehadiran Bara yang akan menambah bahagia dari suasana tersebut. Hanya itu.

***

Bersambung...

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang