XXVII

157 16 10
                                    

-November, 2010-

Sejak keluar dari rumah sakit dan berada di mobil menuju perjalanan pulang, senyuman lebar tak pernah sekalipun luntur dari wajah Alora. Ia terus memandang kedua kakinya dengan penuh suka cita. Akhirnya setelah satu tahun ia bisa kembali berjalan tanpa harus menggunakan tongkat bantu jalan lagi.

Sesekali Mahendra yang tengah fokus mengemudi juga turut tersenyum tipis melihat bagaimana bahagianya Alora sedari tadi. Selama 15 menit perjalanan berlalu bahkan belum ada percakapan diantara keduanya. Alora hanya terus memandangi kedua kaki jenjangnya itu tanpa kata.

"Ra, boleh kita mampir ke tempat teman aku sebentar? Aku mau ambil barang pesananku."

Akhirnya setelah sekian lama, Alora mendongakkan kepalanya, menatap Mahendra yang mengajaknya berbicara.

"Iya tentu aja boleh, Mahendra."

Tak berselang lama, mobil Mahendra berhenti di salah satu rumah di ujung daerah pertokoan.

"Aku perlu ikut turun juga?"

"Gak perlu, Ra. Aku gak sampai lima menit kok,"

"Oh oke kalau gitu, aku tunggu di mobil aja ya berarti?"

Mahendra mengangguk lalu segera turun dari mobil jeep-nya, kemudian masuk ke rumah dengan cat hijau lumut tersebut.

Tepat sebelum lima menit seperti kata Mahendra tadi, laki-laki itu sudah terlihat keluar dari rumah tersebut dengan menenteng dua kantung plastik merah besar. Mahendra mengitari mobilnya lalu membuka pintu penumpang Alora.

"Bisa tolong pangku satu, Ra?"

Alora mengangguk singkat, "Iya bisa." Gadis itu sempat melirik ke dalam isi kantung plastik tersebut.

Alora sedikit mengernyitkan dahinya bingung ketika melihat isi dari salah satu kantung plastik merah besar yang dipangkunya saat ini ternyata adalah beberapa nasi kotak.

"Berat enggak, Ra? Kalau berat aku taruh belakang semua."

"Enggak kok, gak terlalu berat. Aku bisa bawanya."

"Kalau nanti keberatan bilang aku ya, Ra."

"Iya,"

"Oke kalau gitu,"

Setelah meletakkan satu kantung plastik merah lainnya ke kursi penumpang bagian belakang, Mahendra kembali masuk ke mobilnya lalu memasang sabuk pengaman kursi kemudinya.

"Mahendra, nasi sebanyak ini buat apa? Kamu lagi ada acara? Atau lagi ngerayain sesuatu?" Tanya Alora penasaran.

"Iya, ngerayain kebahagiaan kamu."

Lagi-lagi Alora kembali dibuat bingung. "Maksudnya?"

"Hari ini kamu pasti lagi bahagia 'kan?"

Alora kembali mengangguk.

"Kalau gitu ayo kita bagi kebahagiaan kamu ke orang lain, biar kamu lebih bahagia lagi. Kita bagi-bagi makanan ke orang-orang di jalan sebagai bentuk syukur kamu karena udah bisa lepas tongkat."

Alora sejenak terpatung mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki di sampingnya itu. Ia tidak menyangka bahwa Mahendra akan melakukan hal semacam ini untuknya.

"Mahendra kamu kenapa sampai harus serepot ini? Kamu gak perlu sampai kaya gini, Mahendra." Alora merasa tidak enak.

"Ra, aku emang udah merencanakan ini kok dari seminggu lalu, kamu gak perlu merasa ngeprepotin aku. Anggap aja ini traktiran deh,"

Alora menggeleng beberapa kali.

"Enggak-enggak, biar aku ganti nanti uang kamu, Mahendra."

Mahendra memutar tubuhnya penuh menghadap Alora. "Ra, tolong terima niat baikku kali ini. Tujuanku baik, aku gak merasa direpotkan dan aku cuma mau membagi kebahagiaan kamu sama orang-orang di luar sana. Aku mohon terima ya, Ra." Wajah Mahendra memelas, membuat Alora merasa tidak enak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang