VII

401 21 3
                                    

-Bandung, 2007-

"Kak, kita duluan ya." Pamit junior Alora yang baru saja melenggang keluar dari ruang ekstrakurikuler anggar.

"Iya, hati-hati kalian." Jawab Alora, kini tinggal ia seorang diri di ruangan itu. Alora masih sibuk menulis satu kalimat akhir untuk isi surat yang akan ia kirimkan pada Bara. Ini adalah surat keempat yang Alora kirimkan pada Bara sejak terakhir kali mereka bertemu pada bulan agustus tahun lalu.

Sebenarnya seluruh surat yang Alora kirimkan tidak pernah mendapat balasan dari Bara, akan tetapi Alora tetap mengirimkan surat-surat yang berisi kabar terbarunya pada Bara dan bertanya mengenai bagaimana kabar Bara di sana. Gadis itu berpikir mungkin saja Bara masih sibuk untuk persiapan tahun terakhirnya di SMA-nya, serta urusan pendaftaran akademi militernya mungkin. Toh juga, surat yang Alora kirimkan selama ini bukan surat-surat berisi hal-hal penting yang harus dibalas oleh Bara atau mendapat respon langsung dari Bara seperti surat yang Alora kirimkan beberapa bulan lalu, surat yang berisi berita kematian Ayahnya yang langsung direspon oleh kedatangan Bara ke Bandung.

Alora memasukkan surat yang telah selesai ia tulis ke dalam amplop berwarna cokelat. Ia berencana mengantarkan surat itu ke kantor pos di perjalanan pulang nanti.

Alora dan Bara memang sangat jarang untuk berkomunikasi via telepon, karena seperti yang pernah Bara jelaskan pada Alora bahwa terdapat aturan pembatasan penggunaan alat komunikasi di asrama dan sekolah Bara. Alasan lain karena Bara juga lebih menyukai komunikasi melalui surat daripada telepon.

***

Februari 2007
.
.
.
Maret 2007
.
.
.
April 2007

Bulan-bulan berlalu begitu cepat di tahun terakhir Alora duduk di bangku sekolah menengah atas. Karir Alora dalam dunia anggar juga semakin melesat baik setiap tahunnya. Alora menjadi siswa dengan prestasi non-akademik di bidang keolahragaan paling banyak di SMA Bhakti Bangsa. Namanya juga sering menghiasi koran-koran media Bandung.

Bagaimana eksistensinya di dunia anggar tidak melejit jika rutinitas Alora saja setiap harinya hanya tentang sekolah-latihan anggar-lomba anggar dan begitu seterusnya selama berbulan-bulan. Anggar seakan sudah menjadi bagian penting di hidupnya.

Alora meletakkan tas pedang anggarnya di sudut kamarnya, beberapa minggu ke belakang sampai dengan beberapa minggu ke depan Alora memutuskan cuti sejenak bermain anggar. Ia harus fokus mempersiapkan ujian kelulusannya yang akan dilaksanakan pada awal bulan depan.

Matanya beralih mengamati foto Bara dan dirinya yang ia tempelkan di atas meja belajar. Alora mengusap pelan kalung pemberian Bara yang masih selalu ia kenakan di lehernya. Dalam hatinya ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia merindukan Bara, sangat merindukan laki-laki itu. Alora bahkan sampai tidak berani untuk sekedar melihat rumah Bara, ia takut akan semakin merindukan laki-laki itu.

Alora menyobek satu kertas dari bukunya. Menulis beberapa kalimat mengenai kerinduannya pada Bara. Seperti yang pernah diminta Bara pada Alora tentang mencurahkan isi hati atau apa yang Alora rasakan pada sebuah tulisan, nyatanya Alora benar-benar melakukannya. Gadis itu menuruti apa yang Bara pesankan padanya.

Lengan tangannya pun hampir tak pernah mendapatkan luka cakaran baru dari dirinya sendiri. Alora sungguh menjadi sedikit lebih baik dalam mengendalikan emosinya.

Selesai menulis, Alora kemudian menyimpan kertas itu dengan kertas-kertas sebelumnya di box dengan motif tentara yang pernah ia beli di salah satu festival. Berbeda dengan surat, kertas berisi pelampiasan perasaannya itu tak ia kirimkan pada Bara, melainkan ia simpan bersama kertas-kertas mengenai peluapan perasaannya dan emosinya yang pernah ia tulis sebelum-sebelumnya untuk Bara baca nanti ketika mereka bertemu. Lagi-lagi seperti yang Bara minta, Alora menurutinya.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang