XVI

210 18 1
                                    

"Ga, jawab kakiku kenapa, Ga?!" Bentak Alora sembari mengguncang tubuh Dirga yang berdiri di hadapannya.

"Ra, tenang dulu, Ra. Jangan banyak gerak, kamu habis operasi Ra."

"Operasi apa? Maksud kamu kakiku dioperasi? Kakiku kenapa, Ga?" Tanya Alora semakin tidak tenang.

Dirga bergeming.

"Ga, jawab!"

"Ka-kaki kamu lumpuh untuk sementara, Ra." Cicit Dirga lirih namun tetap dapat terdengar jelas oleh Alora.

Seketika itu pula Alora tidak bisa membendung tangisnya sembari menggelengkan kepalanya seakan tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Ga, kamu pasti bercanda 'kan, Ga?!"

"Ra, maafin aku harus jelasin ini ke kamu." Dirga terdiam sejenak, mengumpulkan keberaniannya sembari menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali melanjutkan.

"Dua tulang di kaki kanan kamu patah parah, Ra. Kamu mungkin gak akan bisa berjalan normal kaya biasanya selama beberapa bulan kedepan sampai kaki kamu benar-benar sembuh, dan-"

Dirga menggantung kalimatnya, ia benar-benar merasa berat untuk melanjutkan penggalan kalimatnya.

"Dan apa, Ga?!"

Dirga kembali bergeming, membuat Alora semakin kalut.

"Ga, jawab aku! Dan apa, Ga?!" Paksa Alora dengan kembali mengguncang-guncang tubuh Dirga di hadapannya.

"Dan Dokter juga bilang bahwa kemungkinan meskipun kamu bisa berjalan seperti semula, kekuatan kaki kamu akan berbeda dari sebelumnya. Kamu akan kehilangan setengah dari kekuatan kaki kamu secara permanen." Jelas Dirga yang tentu saja semakin membuat tangis Alora tak karuan.

Demi Tuhan, sejujurnya Dirga sangat tidak ingin untuk memberitahu Alora mengenai kondisinya, setidaknya untuk saat ini. Ia sungguh tidak tega, akan tetapi Dokter yang mengharuskan Dirga sebagai perwakilan pihak keluarga untuk menjelaskan kondisi yang sedang diderita pasien agar pasien mampu menjaga dan berhati-hati terhadap tubuh serta kakinya yang sedang menjalani pemulihan sementara pasca operasi.

"Enggak, Ga aku gak mau! Kalau aku gak bisa jalan gimana sama semua pertandingan anggarku nanti? Aku masih mau jadi atlet, Ga! Gak mau, Ga! Aku gak mau jadi kaya gini, Ga!" Ronta Alora histeris.

Dirga menangkup wajah Alora yang telah basah oleh deras air mata gadis itu sendiri.

"Ra, tenang Ra. Ini cuma sementara, enggak selamanya, Ra. Kamu gak kehilangan kaki kamu, Ra. Kamu hanya kehilangan setengah kekuatannya aja, Ra. Kamu tetap bisa berjalan normal, Ra."

Alora masih meronta-ronta tak karuan. "Enggak, kamu bohong 'kan, Ga?! Bilang ini semua bohong, Ga!" Pinta Alora memaksa.

Dirga tentu tak sampai hati melihat bagaimana terpukulnya Alora saat ini. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu menarik Alora dalam dekapannya, berusaha menenangkan Alora dengan mengusap pelan punggung sahabatnya itu agar tangisnya reda meskipun Dirga masih dapat merasakan pukulan-pukulan kecil dari tangan Alora di dadanya, Dirga tetap berusaha menenangkan gadis itu semampunya.

.
.
  .

Sepuluh menit berlalu, hingga akhirnya Alora Kembali tenang. Dirga dapat merasakan bahwa sudah tidak ada lagi pergerakan yang diberikan oleh tubuh Alora yang masih ada di dekapannya. Perlahan, Dirga mencoba melihat kondisi Alora yang ternyata sudah Kembali terlelap.

Dengan hati-hati, Dirga berusaha merebahkan tubuh Alora Kembali ke tempat tidur, kemudian menyelimuti tubuh gadis itu.

Jika ada orang kedua yang masih hidup di dunia ini yang tidak siap melihat kesedihan Alora setelah Bara, sungguh maka orang itu adalah Dirga.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang