IX

361 26 3
                                    

30 menit kemudian...

Kembali terdengar sirene ambulan yang saling berdatangan. Beberapa ambulan terlihat kembali memasuki area rumah sakit. Seperti kedatangan ambulan sebelum-sebelumnya, semua siswa langsung berlarian menghampiri ambulan-ambulan yang baru saja terparkir itu.

Semua siswa saling meneriakkan nama orang tua mereka dan saling berserobotan untuk dapat melihat korban yang ada di semua ambulan.

Alora bisa mendengar isak tangis haru yang saling beradu dari teman-temannya ketika melihat orang tua mereka selamat meskipun dalam kondisi luka dan berdarah-darah.

Mata Alora terus menelisik liar di antara kerumunan siswa-siswi lainnya yang berada di sekeliling badan setiap ambulan. Ia masih belum bisa menemukan Liana di antara semua korban yang ada. Dimana sebenarnya Bundanya? Alora terus bertanya-tanya dalam hati.

Lagi-lagi sebuah ambulan datang. Alora bergegas mendekati mobil ambulan tersebut, bahkan ketika ambulan itu belum berhenti sepenuhnya.

Akhirnya, Alora bisa melihat sosok Liana tengah terbaring di dalam ambulan dengan mata terpejam. Alora bisa melihat bahwa tidak terdapat bekas luka yang terlalu serius di tubuh Liana. Gadis itu kemudian mendekati pintu ambulan tersebut dengan wajah sumringah.

"Suster, ini Bunda saya. Beliau baik-baik saja bukan?" Tanya Alora pada seorang suster yang baru saja turun dari ambulan tersebut.

"Kamu keluarga korban?"

"Iya, Suster."

"Tolong bantu kami untuk mengisi data nama dan usia korban sebelum kami pindahkan ke ruang jenazah."

DEG!

Ekspresi Alora seketika berubah.

"Ruang jenazah? Maksud Suster apa ya? Bukannya korban tidak tertolong sudah tidak ada lagi?" Alora berusaha memperjelas keadaan.

"Iya, tadinya memang beliau masih dalam kondisi sadar, akan tetapi dengan penuh rasa penyesalan kami memohon maaf. Ibu anda tidak bisa bertahan karena mengalami pendarahan hebat dan kehilangan banyak darah selama di perjalanan. Beliau tidak dapat terselamatkan, karena tempurung kepalanya mengalami benturan keras dengan luka cukup dalam, sehingga kami sedikit kesulitan untuk menangani korban secara intensif di perjalanan." Alora menutup mulutnya tak percaya. Liana memang tidak nampak terluka fisik secara parah, akan tetapi kehilangan darah begitu banyak pada area tempurung kepalanya, pantas saja Alora tidak dapat melihatnya tadi.

Suara Alora bahkan tercekat sebelumnya akhirnya tangisnya pecah dengan begitu hebat.

Lagi? Tuhan benar-benar membuat Alora kehilangan orang yang paling berarti bagi hidup Alora sekali lagi. Apakah Tuhan sedang bercanda pada Alora? Bagaimana bisa Tuhan mengambil tiga orang paling berharga di hidup Alora dalam tiga tahun terakhir di setiap tahunnya.

Ternyata semua kalimat manis yang Liana ungkapkan ketika api unggun itu adalah salam perpisahan bagi Alora. Semua hal baik yang Alora dapatkan dan rasakan belum lama ini adalah sebuah persiapan untuk perpisahan? Ini benar-benar tidak adil, tidak adil! Ia tidak menginginkan takdir yang seperti ini.

***

Tangis Alora tidak pernah sekalipun berhenti sejak kemarin hingga hari ini ketika prosesi pemakaman berlangsung.
Gadis itu bahkan tak kuasa untuk sekedar berdiri di pemakaman, ia hanya terkulai lemas dengan tubuh tersandar pada Desy yang saat itu turut serta hadir di pemakaman Liana.

Setelah seluruh korban dievakuasi pagi kemarin, seluruh jenazah korban tak selamat langsung dipulangkan ke Bandung, lebih tepatnya ke kediaman masing-masing untuk diurus oleh keluarga mereka.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang