III

478 30 1
                                    

Alora meletakkan tas anggarnya di samping tubuhnya, ia beralih meraih kotak berisi nasi kuning untuk sarapannya yang dibelinya tadi di jalan pulang. Saat ini waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB dan Alora baru akan sarapan. Bagaimana tidak, gadis itu baru saja pulang dari sekolahnya di hari minggu. Bukan untuk pembelajaran tentunya, melainkan untuk berlatih anggar sendirian di ruang ekstrakurikuler anggar di sekolahnya. Entahlah, Alora memang suka ketika bisa berlatih anggar sendirian, ia merasa lebih leluasa dan lebih fokus, padahal di rumahnya terdapat satu ruangan khusus yang bisa ia gunakan untuk berlatih anggar, tepatnya di samping kamar gadis itu. Namun alasan lain ia tetap memilih berlatih anggar di sekolah daripada di ruangan tersebut tentunya karena Alora malas menghabiskan hari liburnya secara sia-sia di rumah yang bahkan tak ingin ia anggap rumah itu.

Alora mengikat rambut panjangnya yang tergerai secara asal. Belaian angin terasa menerpa begitu kencang dari atas atap rumah tua kosong, tempat yang sudah ia anggap seperti rumah kedua itu. Atap rumah tua kosong itu adalah salah satu spot favoritnya, karena dari atas atap tersebut Alora bisa melihat pemandangan komplek perumahannya, rumah Bara, pemandangan kota Bandung, dan menikmati udara sejuk kota Bandung lebih leluasa.

Alora mulai melahap nasi kuningnya, sambil lalu ia juga melamun menatap hamparan langit di atasnya. Sudah hampir tiga bulan ternyata sejak pertemuan terakhirnya dengan Bara. Alora merindukan kekasihnya itu, laki-laki dingin namun selalu hangat padanya sekaligus satu-satunya temannya di komplek perumahan ini. Oh dan jangan lupakan lesung pipit Bara yang sangat jarang terlihat, namun ketika sekali saja terlihat saat Bara tersenyum lebar pesona laki-laki calon taruna itu benar-benar tidak bisa dikendalikan. Rasanya selesai sudah hidup Alora ketika melihatnya.

Ah, perasaan Alora tiba-tiba menghangat tiap kali Alora mengingat laki-laki itu. Tangannya meraba kalungnya yang dibelikan oleh Bara beberapa bulan lalu. "Bara aku kangen," cicitnya seraya menelan nasi kuning yang ia kunyah di mulutnya. Ia juga melirik sebentar gantungan kunci tas pedang anggarnya yang terdapat foto bara dan gunting pemotong kuku. Jangan tanya dari siapa ide gantungan kunci konyol itu, tentu saja dari Bara.

Bara memaksa Alora menggantungkan fotonya dan gunting pemotong kuku di tas pedang anggarnya, agar Alora selalu ingat untuk memotong kukunya dan adanya foto Bara di tas itu agar Alora merasa setidaknya senantiasa diawasi oleh Bara apabila tidak menggunakan gunting pemotong kuku tersebut. Alasan Bara sangat menekankan Alora untuk rajin memotong kuku karena laki-laki itu tahu betul kebiasaan buruk Alora ketika menyalurkan emosinya, dan Bara sangat membenci itu.

Alora menghabiskan suapan terakhir nasi kuningnya, sebelum ia melihat sesuatu yang sejenak mencuri perhatiannya. Ia dapat melihat Pak Wijaya-Papah Bara yang tengah membersihkan pekarangan rumah Bara bersama dengan Ibu Indira-Mamah Bara di sampingnya. Pasangan perwira TNI itu terlihat sangat harmonis dan romantis, tidak jarang Alora iri pada keharmonisan dan kehangatan keluarga Bara.

Jika dilihat-lihat Pak Wijaya memiliki karakter yang hampir sama seperti Bara, sosok laki-laki yang cenderung pendiam tanpa banyak bicara. Berbanding terbalik dengan Ibu Indira yang sangat ramah, murah senyum dan begitu hangat pada orang lain, padahal beliau bukan hanya istri seorang perwira TNI, tapi seorang perwira juga. Alora bisa mengetahui itu karena ia sering mengobrol dengan Ibu Indira, berbeda halnya dengan Pak Wijaya. Alora ingat betul, kali terakhir ia berbicara dengan Pak Wijaya adalah setahun lalu ketika Alora mengembalikan jaket Bara ke rumahnya. Entah hanya perasaan Alora saja atau bagaimana, ia merasa sepertinya Pak Wijaya tidak terlalu menyukainya, akan tetapi ia tidak ingin ambil pusing dan memikirkan itu secara berlebihan, toh yang terpenting sampai sekarang ia masih berpacaran dan masih bisa terus bersama Bara.

Alora kembali melihat ke rumah Bara, mengamati kedua orang tuanya. Jika ia tak salah dengar, orang tua Bara beberapa tahun lagi akan memasuki masa pensiun mereka dan tidak aktif menjadi perwira TNI lagi, mungkin itu juga sebabnya mereka ingin Bara menjadi seorang Jenderal, menata karir tentara Bara sedini mungkin agar Bara dapat menjadi Perwira bahkan Jenderal TNI yang tentunya berpangkat lebih tinggi dari kedua orangtuanya.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang