Alora turun dari kamarnya menuju ke lantai bawah ketika ia mendengar suara seseorang di dapur rumahnya. Benar saja, ia mendapati Dirga tengah sibuk memasak di dapurnya.
"Pagi Tuan Putri," sapa Dirga kemudian menarik kursi untuk Alora duduk.
"Minum air putih dulu cewek mabok," ledek Dirga yang langsung dibalas tatapan tajam oleh Alora.
Alora meminum air putih yang diberikan Dirga padanya. "Ngapain masak, Ga? Aku pikir kamu bakal balik Jakarta hari ini."
"Ngusir, Ra? Jahat banget."
"Ya enggak, 'kan cuma nanya."
"Aku bakal nginep di sini sampe beberapa hari ke depan. Gak boleh ada penolakan."
Alora mengangkat satu alisnya. "Tumben? Dulu pas awal-awal pindah ke Jakarta kalau disuruh main ke Bandung gak mau."
"Mau jagain kamu biar gak nakal, Ra."
"Yang bener, Gaaa."
"Lagi kangen kamu, kangen Bandung, terus aku 'kan lagi liburan juga sambil nunggu pengumuman buat masuk kampus. Udah, puas?!"
Alora hanya menganggukkan kepalanya.
"Kamu mau lanjut kuliah atau gimana, Ra?" Tanya Dirga sembari menaruh nasi goreng yang sudah dimasaknya ke atas piring.
"Aku mau masuk asrama atlet, mau fokus main anggar, tapi aku juga masih belum tahu kapan." Ya, Dirga memang sudah tahu bahwa Alora menekuni anggar, karena sebelum-sebelumnya mereka masih sempat berkomunikasi beberapa kali, meskipun hanya satu sampai dua kali dalam setahun setelah kepindahan Dirga ke Jakarta.
.
.
.Seperti kemarin, Alora kembali ke pemakaman Bundanya. Kali ini ia tanpa membawa minuman keras kemasan kaleng dan juga tidak datang sendirian seperti kemarin, melainkan bersama Dirga. Laki-laki itu bersikeras ingin ikut Alora ke pemakaman, karena ia khawatir bahwa sahabatnya itu akan meminum minuman keras lagi di pemakaman dan pulang dalam keadaan mabuk.
Kurang lebih hampir 40 menit sudah keduanya berada di pemakaman tersebut dalam keadaan hening. Dirga hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun, sementara Alora masih bertarung dengan sisa-sisa kesedihannya. Mungkin tangisnya sudah tak sekencang kemarin, namun hatinya masih berusaha keras untuk mencoba berdamai dengan keadaan, meskipun sangat berat.
Di sisi lain, Dirga terus memandang iba punggung Alora yang bersandar di samping nisan Yosua sembari menyentuh gundukan tanah makam Liana. Sungguh Dirga benar-benar bisa merasakan kesedihan Alora yang begitu mendalam hanya dari isakan-isakan kecil gadis itu.
Pikiran Dirga tiba-tiba melayang pada Bara. Dirga tidak bisa membayangkan bagaimana jika Alora tahu yang sebenarnya. Bahwa hubungannya dengan Bara sedang di ujung tanduk karena ditentang oleh Papah Bara dan Bara tak memiliki kuasa untuk mempertahankan Alora. Bagaimana bisa Alora bertahan setelah ini jika Tuhan juga mengambil dunia terakhirnya, yaitu Bara.
"Ga, lebih baik kamu balik ke rumah aja duluan," ucap Alora memecah lamunan Dirga.
Dirga menggelengkan kepalanya sebagai tanda penolakan. "Pulang terus ninggalin kamu di sini biar kamu kayak kemarin? Enggak, Ra. Kamu punya aku, seenggaknya untuk saat ini. Aku akan nemenin kamu bahkan sampai kamu capek dan gak sanggup lagi buat nangis." Dirga kemudian merangkul pundak Alora.
"Ra, cepat atau lambat kamu pasti akan ikhlas. Kamu hanya belum terbiasa. Aku gak ngelarang kamu untuk sedih, tapi tolong jangan berlarut-larut, Ra. Dunia masih terus berjalan meskipun kamu kehilangan banyak orang di hidupmu. Masa depanmu masih panjang, Ra. Masih banyak lembaran baru yang harus kamu jalani. Kalau kamu terus meratapi hidup, kamu gak akan bisa menghidupi diri kamu sendiri bahkan menghidupi mimpi-mimpi kamu, Ra."

KAMU SEDANG MEMBACA
NEBARA
Fanfiction"Jika menurut orang-orang definisi rumah untuk pulang akan selalu berbentuk manusia, maka aku harap kamu adalah satu-satunya manusia dan selamanya rumah berbentuk manusia itu untukku berpulang di masa lalu, masa sekarang, maupun masa mendatang." -NE...