XII

337 23 5
                                    

-September, 2007-

Alora menaiki tangga untuk menuju ke atap rumah kosong tua. Seperti biasa, pemandangan kota Bandung selalu tampak indah bila dilihat dari atas rumah kosong tua itu.

Gadis itu menghirup rakus udara di sekelilingnya. Ah, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menghabiskan waktunya di atas atap rumah kosong tua itu, meski hanya sekedar untuk menyendiri dan melamun. Terakhir kali dirinya kemari sepertinya sebulan lalu, tepatnya satu minggu sebelum keberangkatannya ke puncak Bogor untuk acara camping bersama yang menjadi runtutan acara perpisahan kelulusannya. Acara yang membuat ia harus kehilangan Bundanya untuk selama-lamanya.

Mata cokelat Alora beralih melirik pekarangan rumah Bara. Rumah bernuansa abu khas tentara itu terlihat sepi, bahkan mobil keluarga Bara tidak ada di garasi. Satu tahun sudah sepertinya Alora tidak bertemu Bara. Ia benar-benar merindukan laki-laki itu. Alora benar-benar merasa ada satu hal yang kosong dari hidupnya tahun ini, yaitu kehadiran Bara.

Alora memandang semua hal yang dapat ia lihat dari atap rumah tua itu lamat-lamat. Lima hari lagi ia sudah akan pergi meninggalkan komplek perumahan ini, karena ia akan masuk asrama atlet. Menekuni dan mengejar mimpinya, yaitu menjadi atlet anggar internasional. Ia akan meninggalkan rumahnya, termasuk akan jarang menghabiskan waktu sendirian di rumah kosong tua ini. Rumah kosong yang telah menjadi basecamp-nya bersama Tio, Dirga, dan Bara selama bertahun-tahun.

Sejatinya ada secuil perasaan tak siap di hati Alora untuk menghadapi fase ini. Memangnya orang gila mana yang siap menghadapi fase dewasa?

Ternyata benar, waktu selalu berjalan. Ternyata benar, semua hal terjadi begitu cepat. Ternyata benar, tidak ada hal yang akan selalu bersama kita pada akhirnya. Dan ternyata benar, di akhir waktu kita hanya memiliki diri kita sendiri atas semua kehilangan yang datang.

Alora mendongakkan kepalanya ke atas, menatap hamparan langit kota Bandung yang cerah namun tetap teduh. Ia pasti akan merindukan momen-momen seperti ini nantinya.

***

Oktober, 2007
.
.
.
.
November, 2007
.
.
.
.
Desember, 2007

Bulan-bulan tanpa terasa berlalu begitu cepat ketika Alora sudah memulai hidup barunya di asrama atlet. Hari-harinya hanya dipenuhi dengan latihan, latihan, dan perlombaan-perlombaan kelas atlet dasar. Tentu saja, ia masih tiga bulan menjadi bagian dari asrama atlet, masih panjang jalannya untuk mendapatkan kesempatan bertanding di skala internasional. Tapi hal itu sama sekali tidak menjadi masalah besar bagi Alora, suatu saat ia pasti akan mendapatkan kesempatan itu, dan ketika kesempatan itu datang ia akan berusaha keras untuk memenangkan kesempatan besar yang selama ini sudah dinantinya. Ia yakin itu.

Alora mengemas beberapa baju-bajunya ke dalam tas. Tangannya mengusap pelan kalung dari Bara yang masih selalu setia mengalung di lehernya. Hatinya berdebar hebat, ia tak sabar akan bertemu Bara minggu ini. Dua hari lagi adalah minggu terakhir di bulan desember, dimana seperti janji Bara pada kali terakhir mereka bertemu, bahwa laki-laki itu akan pulang di tahun baru berikutnya untuk menemui Alora, dan tahun baru yang Alora tunggu itu akan jatuh pada minggu depan. Asrama atlet juga memberikan jatah libur yang cukup panjang bagi para atletnya untuk menikmati liburan natal dan tahun baru, yaitu sekitar dua minggu.

Selesai mengemasi barang-barang yang akan dibawanya pulang, Alora melemparkan tubuhnya ke kasurnya. Menatap langit-langit kamar asramanya yang didominasi warna biru pudar. Ia sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum senang menunggu hari-hari pertemuannya dengan Bara.

Gadis itu kemudian meraih box dengan motif tentara yang dibawanya ke asrama atlet dan selalu ia letakkan di nakas samping tempat tidurnya. Box yang berisi surat-surat kecil curahan hati Alora selama ini yang sudah ia simpan lama sesuai dengan permintaan Bara dan berkat surat-surat itu juga Alora jadi suka menulis. Lengan tangan gadis itu pun sudah tidak pernah dipenuhi luka cakaran lagi sekarang, karena semua keresahan, kesedihan, dan ketakutan yang ia rasakan sudah turut ia luapkan pada tulisan di kertas-kertas itu. Terima kasih pada Bara, karena laki-laki itu selalu memberikan banyak perubahan dan hal baik bagi hidup Alora bahkan ketika ia tak berada di samping gadis itu.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang