XXV

110 16 3
                                    

"Nyatanya aku memang bukan orang baik, Ra."

Hening sejenak.

Dengan tarikan napas dalam yang terasa begitu berat, Mahendra kembali membuka suara. "Aku hanya anak gak berguna, laki-laki brengsek dan seorang pecundang yang terus berusaha lari dari kesalahan, dosa, juga rasa sakit, Ra."

Alora menyadari bahwa kini netra legam Mahendra berubah mengkilat seperti tengah meredam emosi tertentu. Alora tidak tahu pasti apa emosi yang sedang Mahendra coba redam, entah itu berupa amarah atau berupa kesedihan, gadis itu juga tidak tahu pasti, karena ekspresi Mahendra sulit terbaca dengan jelas.

"Sejak kecil aku memang pecundang, Ra. Aku gak pernah lebih pintar atau lebih baik dari Galang, Kakakku di mata Papih. Aku selalu dianggap sebagai anak bodoh dan selalu dinomorduakan karena aku nakal. Papih bilang aku juga gak akan bisa jadi orang sukses yang mampu nerusin usaha Papih, bahkan kayaknya gak jarang Papih gak menganggap aku sebagai anaknya. Sejak kecil aku cuma merasakan peran Mamih sebagai orang tua seutuhnya. Cuma Mamih orang yang paling sayang dan selalu melihat aku selayaknya seorang anak dan manusia."

"Hal yang gak bisa aku pungkiri adalah Papih orang yang selalu aku kagumi sejak aku kecil. Sikap Papih yang pilih kasih dan selalu memandang aku sebagai anak 'gak berguna' di keluarga adalah luka terbesar yang harus aku emban sejak kecil. Ketika orang yang paling kamu sayangi nyakitin kamu, menurutku itu adalah rasa sakit yang paling pedih di dunia."

Samar-samar Alora menangkap sebuah senyuman remeh dari sudut bibir Mahendra.

"Tapi toh mau sebaik atau seburuk apapun orang tua, nyatanya setiap orang tua memang pemberi rasa sakit hati pertama dan patah hati terbesar bukan pada setiap anaknya? Sadar atau enggak faktanya memang begitu, jadi aku selalu berusaha untuk lapang dada atas itu. Sejatinya aku banyak ngelakuin hal buruk cuma buat narik perhatian Papih. Aku selalu bolos, tawuran, minum, ngerokok dan berbagai hal buruk lainnya semata-mata cuma agar Papih ngelihat aku sebagai anaknya, meski yang Papih lihat hanya sisi burukku, seenggaknya Papih tetap melihat aku. Aku mungkin terlalu capek gak dianggap oleh Papih, Ra sampai aku milih cara yang salah untuk sekedar dapat atensinya." Mahendra tersenyum getir di penghujung kalimatnya.

"Itu semua terus aku lakuin sampai Kartika datang ke hidupku."

Seolah luka lama yang tanpa sengaja kembali ditikam di tempat serupa, hati Mahendra berdenyut perih tatkala nama itu setelah sekian lama akhirnya kembali terpanggil dari bibirnya.

Sejenak, Mahendra memejamkan matanya rapat. Berusaha mengendalikan emosinya. Alora yang mengetahui akan hal tersebut lalu menyentuh bahu Mahendra lembut.

"Kamu gak perlu ngelanjutin kalau memang itu terlalu berat untuk kamu ceritain, Mahendra. Aku bisa ngerti kok."

Tak berselang lama, kedua mata Mahendra yang sempat terpejam tadi kembali terbuka. Manik legam yang masih berkilat sendu itu lalu disambut oleh manik cokelat teduh milik Alora di hadapannya. Pandangan keduanya saling terkunci satu sama lain.

"Setelah aku selesai cerita ini, kamu boleh ngejauhin aku, Ra kalau kamu ngerasa jijik sama aku." Kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulut Mahendra, membuat Alora sejenak tertegun. Sungguh, seperti bukan berasal dari sosok Mahendra yang ia kenal biasanya.

"Kamu kenapa ngomong gitu sih, Mahendra? Kenapa aku harus ngerasa jijik ke kamu?"

"Karena aku pembunuh, Ra!" Nada suara Mahendra meninggi begitu saja, membuat gadis di hadapannya itu sedikit tersentak kaget.

Alora terpatung di tempatnya, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Pembunuh? Mahendra pembunuh? Tidak, ia pasti salah dengar bukan? Tidak mungkin laki-laki sebaik Mahendra seorang pembunuh. Alora tidak ingin mempercayai hal tersebut begitu saja. Mahendra pasti sedang membual bukan? Alora berusaha menampik banyak hal dalam batinnya mengenai apa yang baru saja ia dengar. Apapun itu Alora bersumpah ia masih memercayai bahwa Mahendra adalah laki-laki baik.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang