Sebuah ungkapan

612 53 56
                                    

"Abang, makasih ya sudah ajak dedek kesini! Dedek senang banget!" Ucap dedek setelah melepas helm dan menaruhnya di spion motor.

"Iya dedek sama-sama, udah yuk masuk." Hyunseok mengajak dedek masuk ke dalam sebuah toko buku klasik di sudut kota.

Hyunseok dan dedek masuk ke dalam toko buku yang juga ada perpustakaan umumnya, aroma semerbak khas buku menyeruak, toko buku bernunasa vintage itu sangat memanjakan mata mereka. Apalagi dedek, tidak henti-hentinya ia tersenyum dengan mata yang bebinar mengitari setiap jengkal surga dunia bagi si kutu buku.

"Dedek mau cari apa? Dedek cari sendiri dulu ya sekalian liat-liat, abang mau datangi penjaga tokonya sebentar. Awas jangan nakal."

"Oke abang!"

Dedek pun mengitari toko buku sambil melihat-lihat sekiranya ada buku yang menarik hatinya. Toko buku tidak banyak pengunjung pada jam-jam segini, ini masih terlalu pagi, jadi dedek bisa leluasa untuk melihat-lihat ke setiap rak tanpa harus bersinggungan dengan pengunjung lain.

Selain menjual buku, toko ini menjual berbagai macam pernak-pernik khas studio film animasi yang terkenal di seluruh dunia. Ada banyak sekali sampai dedek bingung memilih buku atau sebuah gantungan kunci lucu yang mencuri perhatiannya. Selain itu di ruang sebelah yang pintunya tertutup adalah toko musik, musik-musik klasik banyak disana, bahkan piringan hitam dan beberapa gramofon pun tersedia.

Dedek pun kembali pada tujuan awalnya sebelum ia semakin ingin membeli hal lain, sebenarnya pun tidak apa-apa toh ia akan membeli dengan uang tabungannya sendiri.

Dedek mengitari toko buku hingga berhenti pada sebuah rak yang isinya adalah buku-buku puisi dari sastrawan terkenal, seperti William Shakespeare, Pablo Neruda, Khalil Gibran, Edgar Allan Poe, John Cornford, Nizar Qabbani, W.H. Auden, dan Sapardi Djoko Damono. Puisi mereka telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Dedek mengambil salah satu dari ratusan buku di rak itu, ia membuka halamannya secara acak. Ia mulai membaca sajak puisi disana, puisi yang terdiri dari 3 bait atau 12 baris yang disajikan secara singkat, padat dan jelas.

Dedek membaca puisi itu dengan tenang dan menjiwai. Ia hanyut dalam suasana puisi yang tertulis disana sampai akhirnya sebuah tepukan di bahu menyadarkannya.

"Dedek udah dapat bukunya?"

"Be.. belum abang, dedek mau liat-liat lagi."

"Oke, abang ke ruang sebelah ya, mau liat vinyl."

Dedek hanya mengangguk dan menatap punggung bang Hyunseok yang hilang di balik lorong.

Dedek pun kembali membaca puisi pada bait terakhir.

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Dedek duduk di salah satu kursi pada sebuah ruang baca yang ada disana. Ia mengeluarkan buku kecil bersampul kulit berwarna coklat dari dalam tas hitam yang ia bawa. Buku kecil itu sudah banyak ia tulis dengan pemaknaan puisi-puisi yang ia baca. Tidak hanya itu, tapi buku kecil itu juga tertulis puisi karyanya sendiri dengan tinta pulpen yang berbeda.

Jari-jarinya mulai menulis sajak cantik penuh makna itu dan menutup kembali buku yang ia bawa dari rak toko. Dedek dengan lancar menggerakan pulpen di atas kertas putih itu, menuliskan bagaimana makna puisi yang baru saja ia baca.

Puisi itu bertemakan kematian dan keabadian hidup.

Pada sajak puisi itu, ada yang merujuk pada kematian, yang disambungkan pada sajak selanjutnya dimana penyair tidak akan merelakan kehidupannya pada kematian begitu saja, tapi jauh dari itu ia menginginkan ada hal yang membuatnya abadi.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang