Bab 6. Bintang versus Chandra

41 10 2
                                    

Bismillah,

"Bin, sudah mau berangkat? Enggak sarapan dulu?"

Derap kaki tergesa Bintang langsung berhenti. Nada lembut Febri selalu berhasil menggoyahkan hatinya. Dengan berat lelaki bercambang itu melambatkan langkah, lalu berhenti di dekat meja makan. "Lagi buru-buru, Ma. Ada janji di kampus," katanya beralasan. Matanya beredar meneliti siapa saja yang sedang duduk di meja makan. Ayahnya di kursi paling ujung, dan Chandra -adik bungsunya- tepat di sebelah Ayah. Mendadak perasaan tidak nyaman menelusup. "Nanti saja makan di kampus, Ma." Bintang sudah siap melangkah lagi ketika suara Febri kembali terdengar.

"Makan dulu sebentar. Enggak bakal telat, kok." Febri sudah berdiri di dekat putra keduanya, menggamit tangan Bintang yang mengepal kuat. "Yuk." Dengan halus Febri mengajak Bintang duduk. Tidak peduli raut wajah Perdana dan Chandra berubah datar.

Begitu Bintang duduk, Febri mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Perempuan itu mengajak Bintang bicara, bertanya tentang hal remeh temeh yang ditanggapi Bintang dengan anggukan kecil atau jawaban pendek. Kali ini tangan Febri beralih pada piring berisi sayuran, bertanya apa Bintang mau pecel atau tidak. Lagi-lagi anggukan kecil yang hampir tidak kentara adalah jawaban Bintang.

"Mau tempe apa telur dadar, Bin?"

"Tempe saja, Ma." Bintang segera mengulurkan tangan untuk meraih piring. Mencegah Mama menambahkan hal lain sekaligus bertanya. Yang dia inginkan hanya makan lalu pergi secepat yang dia bisa. Suasana ruang makan ini sudah begitu pengap. Bintang juga tidak ingin merusak mood-nya dengan percakapan yang kemungkinan besar akan berakhir dengan buruk.

Feelingnya sudah jelek sejak Chandra pulang beberapa hari yang lalu. Adik bungsunya itu bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri, di luar kota Malang. Berbeda dengan Bintang yang setengah hati berkarier sebagai dosen, Chandra memenuhi semua mimpi Perdana. Laki-laki berusia 29 tahun itu sudah menyelesaikan S2 ketika masih berusia 22 tahun. Lalu, diterima sebagai PNS setahun berikutnya. Penelitian level nasional, artikel-artikel ilmiah dengan namanya sebagai corresponding author bertebaran di jurnal internasional plus jurnal nasional terindeks. H-index-nya melesat jauh, terlepas dari usianya yang masih muda.

Chandra adalah kebalikan dari Bintang. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu tumpuan sekaligus kebanggan Perdana. Bahkan, Aksa si sulung yang berprofesi sebagai dokter tidak ada apa-apanya. Semua pujian hanya mengalir untuk Chandra.

Itu artinya mimpi buruk untuk Bintang!

Samar-samar suara perbincangan Chandra dan Perdana tertangkap telinga Bintang. Bukan itu saja, wajah cerah penuh senyum dan tawa yang sesekali terdengar membuat Bintang mengertakkan rahang. Dia mencengkram sendok seraya menyuap makanannya sesekali. Mengutuk dalam hati kenapa makanan ini tidak habis-habis. Padahal dia sudah tidak betah duduk. Ingin rasanya mendorong piring dan beralasan sudah kenyang. Sayang, raut Mama yang tersenyum padanya membuatnya membatalkan niat. Jadi, dia memaksa diri menelan nasi dengan sayuran dan tempe.

"Chandra sudah dapat beasiswa S3 ke Jerman. Dua bulan lagi berangkat."

Suara berat Perdana membuat Bintang berhenti menyuap. Buku-buku tangannya memutih, mengepal erat. Piring berisi sarapan yang tadi susah payah ditelan demi Mama, sekarang sudah didorong menjauh. Jantung Bintang berdentam-dentam. Dia sudah bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini. Termasuk membayangkan akhir dari sarapan yang sejak awal sudah terasa salah.

"Umur Chandra belum 30, tapi sudah mau mulai S3. Kalo selesai dalam 4 tahun, artinya dia bisa jadi Profesor di umur 40. "Perdana melanjutkan setelah meneguk teh hangatnya. "Kamu sudah punya rencana ke sana kan, Chan?"

"Iya, Yah. Setelah S3 aku sudah memperkirakan mau ambil langkah apa saja. Kalo bisa S3 selesai 3,5 tahun, Yah. Cuma denger-denger di Jerman enggak gampang lulusnya," Chandra menjawab ringan. Matanya melirik Bintang yang masih diam.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang