Bab 32. Seandainya Kamu Bukan Pengecut!

21 6 0
                                    

Bismillah,

"Kamu ... pasti cinta banget sama Rasi."

Bintang menyulut rokok dengan tenang, lalu mengembuskan asap ke udara. Tidak berniat menjawab keingintahuan Lita yang sekarang menatapnya tanpa kedip.

"Enggak perlu dibahas, Lit," elak Bintang. Tangannya terangkat, memanggil waiter. Ketika lelaki muda berkaos hitam itu menghampiri, Bintang memesan soda.

"Jangan gila, Bint!" Lita segera menyela. "Kopi tanpa gula buat dia. Satu bir buat aku." Waiter itu segera pergi setelah memastikan pesanan mereka.

"Enggak usah sok peduli sama aku, Lit. Kamu tahu, aku cuma memanfaatkan kamu. Silakan benci aku. I am totally shit! I know that." Bintang menatap tajam pada mantan kekasihnya, lalu menghisap rokok.

"Aku enggak keberatan dimanfaatkan. Aku sudah setuju untuk terlibat dengan bayaran job sesuai perjanjian kita. Jangan lupa, akhir pekan ini kita sudah bikin janji sama Alila Anthurium. Job dari Pak Iwan juga buat aku, kan," balas Lita tenang.

Bintang hanya mendengkus pendek. Di dalam kepalanya keheranan itu bercokol, bagaimana dulu dia bisa jatuh cinta pada orang semanipulatif Lita.

"Tapi, Bin, aku tetep enggak mau kamu sakit. Aku enggak suka lihat kamu kaya gini," lanjut Lita setelah ikut menyulut rokok.

"Lihat aku kaya apa emangnya?"

"Putus asa dan berantakan gini. Kamu enggak se-desperate ini waktu kita putus dulu." Lita melipat dua tangannya, memerhatikan Bintang yang menjetikkan abu rokok. "Kamu ...cinta banget sama Rasi, kan? Sampai kamu bersedia mematahkan hati kamu sendiri."

Tidak ada jawaban, Bintang menyibukkan diri dengan rokoknya. Waiter datang, meletakkan secangkir kopi dan botol berwarna hijau di meja. Lita segera meminum birnya, langsung dari botol, masih menunggu Bintang bersuara.

"Kamu bener-bener mau nyerahin Rasi sama lelaki itu? Sejak kapan kamu jadi pengecut?" todong Lita.

"Sejak aku peduli banget sama Rasi. Biar saja aku jadi pengecut, yang penting aku enggak menyeret Rasi dalam hidupku yang kacau! Aku enggak mau Rasi kehilangan semua kebahagiaan dalam hidupnya cuma karena orang sakit kaya aku!" Bintang melumat rokok di dalam asbak.

Lita meneguk birnya lagi, lalu mematikan rokok dan memajukan tubuhnya. Tangannya menopang pada meja bundar yang sedikit goyah dan matanya menatap tepat ke arah Bintang. "Terus kenapa kamu enggak usaha buat sembuh? Kenapa pake cara brengsek gini? Seandainya ya, Bin. Seandainya kamu secinta itu sama aku, pasti ... aku bakal bahagia banget." Kini sepasang mata dengan eye liner itu menyorot sendu.

Keduanya tenggelam dalam diam. Lalu Lita kembali memecah kesunyian. "Apa ... aku enggak punya kesempatan lagi, Bin? Apa aku enggak boleh memperbaiki kesalahanku dulu?"

Bintang menggeleng tanpa ragu. "Setelah bertemu Rasi, aku enggak yakin bisa jatuh cinta lagi. Kamu cuma bagian dari masa lalu. Dan, kebersamaan kita sudah membuktikan, kita enggak cocok. Enggak ada yang bisa mengubah itu." Bintang menyeruput kopi, lalu mengeluarkan selembar uang dan meletakkannya di meja. "Aku harus pulang. Makasih tadi sudah menjauhkan Teno."

Tidak menoleh, Bintang meraih jaketnya di punggung kursi. Mengenakannya dengan cepat lalu bersiap pergi tanpa menoleh. Katakanlah dia brengsek karena sudah membuat Rasi sedih atau lebih buruknya lagi terpuruk. Meminta Lita ikut berperan dalam drama murahan ini sama sekali tidak menimbulkan rasa bersalah. Lita malah senang karena bisa menodong Bintang sebagai bayaran atas bantuannya. Seperti yang sudah dikenal Bintang, perempuan ini tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma.

Yang membuat Bintang sesak adalah bayangan Rasi yang berlari pergi dari kafe. Dia memang tidak melihat jelas, tetapi pastilah gadis itu sedang menahan tangis. Atau bahkan sudah menangis.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang