Bab 24. Silent Agreement

29 5 0
                                    

Bismillah,

"Aksa, Mbak Astrid ... Aku dan Rasi akan menikah."

Astrid yang sedang menyuapi Sidqi sontak memiringkan kepala, menatap lurus ke arah Bintang dan Rasi. Sedangkan Aksa tertegun. Sendoknya terjatuh dan berkelinting lirih. Respon itu bertahan beberapa detik sebelum Aksa dan Astrid kompak saling menatap dengan ekspresi tak terbaca.

Melihat reaksi Astrid dan Aksa, Rasi merasakan jantungnya berdebar resah. Dua tangannya saling meremas. Khawatir tanggapan Aksa dan Astrid tidak sesuai harapan. Samar-samar sosok Perdana muncul di kepala Rasi. Teringat saat lelaki itu menatapnya dengan sorot mata tidak ramah waktu perkenalan keluarga dulu.

"Rasi."

"Iya, Mbak?" Dengan cepat Rasi mendongak, menatap Astrid yang tersenyum lembut. Debar jantungnya semakin tidak terkendali.

"Kamu pake jurus apa?" sambung Astrid.

"Eh ... jurus ... apa, Mbak?" Alis Rasi bertaut. Ekor matanya menangkap senyum tengil Bintang.

"Pake jurus apa buat naklukin anak bandel ini? Cuma kamu yang bisa buat Bintang mau nikah." Kali ini Astrid tersenyum lebar, menyikut suaminya yang ikut terkekeh.

"Bintang enggak bandel, Ras. Tapi super bandel!" tambah Aksa sambil berdiri dan menghampiri adiknya. "Sejak kapan bandelnya sembuh?" goda Aksa sambil menepuk-nepuk pundak Bintang.

"Sialan." Bintang tertawa seraya ikut berdiri dan menyambut Aksa yang merangkulnya. Lelaki berusia dua tahun lebih tua itu lalu mengacak-ngacak rambut Bintang. Suasana canggung mencair seketika, malah dipenuhi tawa dan wajah bahagia.

"Udah sana cepet ngadep Mama sama Ayah," celetuk Aksa.

Mendengar kata 'ayah' disebut, Bintang tersenyum kecut. Teringat perseteruan berkepanjangan dengan Perdana, dan ketidaksetujuan lelaki itu pada pilihan Bintang. Ada perasaan tidak nyaman bergelayut dan sempat membuat wajah Bintang disaput mendung.

"Enggak usah pasang tampang jelek gitu! Masak iya Ayah bakal nentang anaknya mau nikah," ucap Aksa, seolah memahami perubahan raut Bintang.

"Pasti Ayah setuju, dong, Bin." Astrid ikut berkomentar, mengerling Aksa. "Kalau calonnya kaya Rasi, Ayah enggak bisa nolak. Percaya, deh."

Rasi tersenyum tipis mendengar kalimat Astrid. Baginya kalimat itu seperti penghiburan tetapi tidak bisa mengenyahkan bayang-bayang Perdana yang memenuhi kepalanya. Wajah tanpa senyum, tatapan mata dingin dan sikapnya yang menjaga jarak. Ada cemas yang menjalar di hati.

Sampai genggaman hangat dan lembut menyadarkan Rasi dari lamunan. Dia tidak tahu kapan Bintang sudah kembali duduk, begitu juga dengan Aksa yang masih betah menggoda mereka berdua.

"Sayang." Sorot mata Bintang begitu hangat. Lelaki itu tersenyum sampai matanya menyipit.

"Hm," balas Rasi tanpa semangat.

"Enggak usah khawatir sama Ayah. Kita pasti bisa menaklukkan Profesor Perdana yang terkenal galak itu," gurau Bintang.

Menatap Bintang dengan gayanya yang santai dan tanpa beban, memaksa satu senyum menghias sudut bibir Rasi. Cemas itu masih bertahan, tetapi mata Bintang yang menyorotkan keyakinan membuat rasa itu memudar perlahan. Hal berikutnya yang diingat Rasi adalah godaan Astrid dan Aksa yang menyerang mereka berdua tanpa ampun. Membuatnya merona malu dan mati kutu. Untunglah ada Bintang yang dengan cepat mengimbangi sifat clumsy-nya. Lelaki itu merespon ledekan Aksa dan Astrid dengan mahir, seraya menarik Rasi mendekat seolah ingin menularkan rasa aman. Semakin lama, mereka semakin tak berjarak sampai akhirnya Rasi tidak tahan untuk tidak menyurukkan wajahnya ke dada Bintang.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang