Bab 27. Kenyataan Pahit

25 6 1
                                    

Bismillah,

Seperti déjà vu, ingatan tentang peristiwa di Banyuwangi menyerbu Bintang begitu dia membuka mata. Kali ini semua berbeda. Dia tidak menemukan seorang pun di dalam kamar. Walaupun merasa seluruh tubuhnya luluh lantak, Bintang mengangkat punggungnya seraya melihat ke arah pintu. Selintas ketakutan menyerbu, teringat Teno yang tiba-tiba muncul di celah pintu ketika dia dirawat di klinik malam itu.

Beruntung, pintu itu tertutup rapat jadi Bintang mengembus napas lega. Sekarang matanya tertuju pada lengan yang dibalut perban. Campuran perih dan ngilu langsung menyengat. Dia tidak tahu apa yang terjadi ketika kecelakaan. Tidak ingat juga sudah berapa lama berada di kamar rumah sakit ini. Hal terakhir yang diingatnya adalah motor kesayangan yang melayang ke arahnya. Dan, Bintang refleks menutupkan lengan kiri, menghalangi motor itu menabrak dan mengakibatkan kerusakan lebih parah.

Suara derit pintu membuat Bintang sedikit terlonjak. Khawatir Teno muncul tibat-tiba. Napas leganya mengembus begitu melihat Rasi dengan raut lelah bercampur khawatir yang tertangkap pandangan.

"Sayang," panggil Bintang dengan suaranya yang serak.

"Bint," sahut Rasi seraya setengah berlari mendekati ranjang tempat kekasihnya terbaring. "Kamu sudah enggak apa-apa? Maksud aku kamu baik-baik aja, kan? Bukan ... Ya Allah, aku ngomong apa, sih? Aku takut banget, Bint. Takut banget waktu dikabari Mas Aksa."

Betapa ingin Bintang meraih gadis yang masih sibuk mencemaskan dirinya itu ke dalam pelukan. Atau sekedar meremas lembut tangannya. Memberitahu kalau dia baik-baik saja. Selalu baik-baik saja setiap kali melihat Rasi. Sayang, seluruh tubuhnya terasa menanggung beban ratusan ton. Berat dan sulit untuk bergerak.

"Sayang, maaf aku bikin kamu khawatir," ucap Bintang lemah. "Aku enggak apa-apa."

"Lengan kamu dapat 20 jahitan. Itu kamu bilang enggak apa-apa? Kamu pernah janji enggak akan bertingkah aneh-aneh. Kamu janji akan jaga diri dan enggak bertindak bodoh. Tolong tepatin janji kamu, Bint." Kali ini mata Rasi berkaca-kaca. Bintang baru menyadari kalau gadis itu sedikit pucat, ada lingkaran hitam menghiasi kantung matanya.

Bintang memaksa kepalanya mengangguk. Berharap gerakan itu akan menenangkan Rasi. "Maaf," ucapnya lagi.

Pintu terbuka lagi, dan Bintang sontak mengarahkan pandang ke ambangnya. Sedetik dia diliputi tegang, lalu kelegaan menghampiri begitu melihat Aksa muncul. Wajah Kakak sulungnya muram, tidak seperti biasa. Ada remasan kecil di hatinya. Merambatkan kekhwatiran ke seluruh tubuh. Aksa lebih sering menampilkan raut ceria jika berurusan dengan Bintang. Mereka sama-sama bukan anak emas Perdana, ikatan itu membuat mereka dekat. Seringkali berbagi perasaan tentang kecewa karena perlakuan Perdana, tetapi hal itu selalu diwarnai canda.

Ekspresi Aksa yang tidak seperti biasa menciptakan degupan aneh di hati Bintang.

"Sa, ada kabar apa?" tanya Bintang dengan gundah yang menyesaki dada.

Aksa hanya menggeleng kecil, lalu menyisir rambut dengan jari-jari. Dia berdiri di samping Rasi, tersenyum kaku. "Akhirnya kamu bangun juga." Hanya itu yang keluar dari mulut Aksa. Itu pun diucapkan dengan kaku.

Bintang menatap Aksa, ingin menyerang kakaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikiran. Supaya resah yang menyergapnya segera berlalu. "Memang kenapa kalo aku enggak bangun?"

"Kamu enggak sadar tiga hari, Bint." Aksa menatap adiknya sebentar, lalu mengalihkan tatap. "Aku minta perawatan khusus untuk luka kamu."

"Cuma dijahit gini aja. Enggak usah berlebihan," tolak Bintang. Dia lelah, tetapi rasa itu kalah oleh penasaran dan cemas yang merajai hatinya.

"Tinggal nurut aja apa susahnya, sih, Bint."

Bintang tertawa kecil. Namun, suara tawa itu lebih terdengar sinis daripada senang. Nyata sekali kalau kakaknya menolak menjawab. Karena itu Bintang memutuskan berhenti bertanya. Terlebih, dia menyadari Rasi menatapnya dengan khawatir. Bahkan mata gadis itu berkaca-kaca.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang