Bab 16. Kasih Tak Sampai

27 7 2
                                    

Bismillah,

Ponsel Rasi menyala, layarnya menampilkan notifikasi dari aplikasi pesan. Nama pengirimnya memang belum terbaca, tetapi foto profil itu sangat dikenal Rasi.  Gadis itu menatap gawai dengan sayu. Perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Kangen, sedih dan bingung.

Satu pesan lagi muncul. Pengirimnya masih sama. Bintang Syailendra, si pemilik foto profil CB Retro. Embusan napas berat Rasi terdengar entah sudah berapa kali. Keinginan untuk membalas chat dari Bintang sangat besar, tetapi Rasi ingat dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjauh. Walaupun dia masih berperang dengan diri sendiri karena tidak mau mengkhianati Ryu.

Kemarin mereka berdua sudah bicara. Rasi tidak membuka siapa Bintang. Dia hanya membahas tentang hubungan mereka. Melayangkan protes juga karena kata-kata Ryu menyinggungnya. Dan mereka berdua setuju untuk berdamai. Ryu sudah minta maaf karena mengajak Bintang duel dengan Rasi sebagai taruhan.

Walaupun berat, Rasi akhirnya memberi maaf.

"Mbak, ada tamu," beritahu Runi yang muncul dengan senyum penuh arti.

"Siapa? Klien? Lima menit lagi aku keluar, Run. Tanggung nih, bentar lagi selesai garnish," kata Rasi dengan mata tertuju pada kue yang sedang dilapisi krim berwarna kuning.

"Nanti nyesel, loh, kalau enggak cepet ditemuin," goda Runi. Gadis lulusan SMK itu sekarang berdiri tepat di samping Rasi. Mengerling ke arah teras dengan senyum lebar. "Tamunya Mas Bintang."

Cetakan di tangan Rasi tergelincir, jatuh membentur lantai. Cokelat yang masih belum mengeras tumpah mengotori lantai. Rasi melongo selama beberapa detik, menatap lantai yang kotor dan cetakan cokelat yang tertelungkup menyedihkan.

"Mbak kenapa jadi grogi begini, sih?" Runi membulatkan matanya. Heran dan geli jadi satu. "Mbak Rasi ke teras saja dulu, biar aku bersihkan lantainya. Kasihan Mas Bintang nungguin."

"Ehm, Run."

"Iya, Mbak?" Runi yang sudah berjalan hendak mengambil alat pel, berhenti lalu menoleh.

"Tolong ... bilang ... sama ... Bintang."

"Bilang apa, Mbak?"

"Bilang ... aku enggak bisa ketemu," desis Rasi dengan muka tertunduk.

Sekarang Runi menautkan alis. Menatap penuh tanya pada bosnya. Mulutnya bergerak-gerak tetapi tidak ada kalimat yang terlontar.

"Tolong ya, Run," pinta Rasi memelas.

"Tapi, Mbak." Runi tidak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menatap ingin tahu pada bosnya yang kelihatan sedih.

"Maaf kalau aku bikin kamu enggak nyaman, Ras."

Rasi dan Runi serempak menoleh ke arah pintu dapur. Keduanya terkejut melihat Bintang berdiri di sana. Raut lelaki itu muram, tidak ada senyum tengil seperti biasa. Kemeja flannel berwarna gelap seolah ikut menjelaskan suasana hatinya.

"Ehm, Mbak Rasi, Mas Bintang, saya sepertinya mau keluar dulu." Sebelum ada jawaban, Runi buru-buru melepas celemek lalu melangkah hati-hati. Melewati Rasi dan Bintang, nyengir dan berjalan pergi.

Dapur langsung senyap. Lantai yang kotor karena tumpahan cokelat, cetakan yang tergeletak begitu saja, dan langit berhias mendung yang terpampang lewat jendela, seperti ikut mendukung suasana suram. Tidak ada yang bicara, selain lirikan mata Rasi yang sesekali tertuju pada lelaki bercambang yang sekarang mendekat. Sedangkan Bintang mengirim pesan lewat sorot matanya yang sendu.

Setelah mengenal Bintang beberapa bulan, Rasi tahu lelaki itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang terpancar lewat sorot matanya. Ketika lelaki itu tersenyum, matanya ikut tersenyum. Begitu juga ketika senyum itu lenyap, sorot mata itu ikut meredup.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang