Bab 25. Teno yang Sempurna

35 5 0
                                    

Bismillah,

Membuka mata perlahan dengan pening yang masih tertinggal, Bintang menelusuri ruangan tempatnya berada sekarang dengan matanya. Dua jendela besar berbingkai putih tertangkap matanya. Tirainya tidak tertutup sempurna, sehingga Bintang tahu kalau di luar masih gelap. Di dekat jendela itu Bintang menemukan Rasi, sedang berdiri entah menatap apa. Gadis itu sepertinya belum sadar kalau Bintang sudah membuka mata.

"Rasi."

Dengan cepat Rasi menoleh, lalu tersenyum tipis. "Bint, sudah bangun?"

Jawaban Bintang adalah lengkungan senyum lemah, lalu mengangkat tangan dan mengulur pada Rasi. Gadis itu melangkah cepat dan menyambut uluran tangan Bintang. Genggaman dan belaian lembutnya mampu meredakan sakit yang tadi menjalar di seluruh tubuh Bintang.

"Jam berapa sekarang?" Bintang tidak melepaskan matanya dari Rasi yang sekarang berdiri di sisi tempat tidur.

"Hampir jam satu," jawab Rasi setelah melirik cepat pada jam tangannya.

"Aku ... pingsan ... berapa lama?"

"Hmm ... 4 jam kayanya. Mau makan? Atau minum?" tawar Rasi, berusaha mengenyahkan canggung yang mendadak menyergap.

"Mau minum soda, ada?" Bintang tersenyum menggoda.

Rasi mengerucutkan bibir. "Klinik kesehatan melarang minuman enggak sehat!"

Bintang terkekeh, lalu meremas lembut tangan kekasihnya. Menatapnya dalam diam. Mendadak setitik cemas muncul di hati Bintang. Teringat kondisinya dan pingsan yang tiba-tiba saja menimpanya, di dalam kepalanya yang pening Bintang merangkai hal-hal yang membuat dadanya seperti tertekan.

Potongan-potongan mengerikan berkelebatan, sehingga tanpa sadar Bintang mengeratkan genggamannya pada Rasi. Lelaki itu menutup mata dengan suara bergaung keras di dalam kepalanya. Suara yang bertanya bagaiamana kalau dia mati dan meninggalkan Rasi dalam sedih. Pertanyaan lain terdengar, bagaimana kalau dia tidak mati tetapi sakit dan butuh perawatan lama. Itu pun juga akan membebani Rasi. Gadis yang dicintainya bisa tidak bahagia dan malah menghabiskan usia mudanya untuk merawat Bintang.

Bayangan tentang TeRa Cake yang sedang berkembang, mimpi-mimpi yang ingin diraih gadis itu berputar-putar di dalam benak. Bintang merasa pening yang tadinya berkurang, sekarang kembali. Tanpa sadar dia memejamkan mata, menekankan satu tangan ke kening. Dia ingin membahagiakan Rasi, walau tidak menampik ada kemungkinan mereka sesekali akan berbeda pendapat dan bertengkar. Semua hal kecil yang tadinya akan merangkai kebahagiaan mereka tidak bisa tercapai kalau dia sakit.

"Bint? Sakit lagi kepalanya?"

Suara lembut dan penuh kekhawatiran itu membuat Bintang perlahan membuka mata. Dahinya basah dengan keringat, dan jantungnya berdegup tidak senang melihat ekspresi sedih bercampur cemas di wajah Rasi. Lelaki itu menggeleng lambat. "Aku enggak apa-apa. Kamu sudah makan? Pasti belum tidur sama sekali ya? Maaf ya, aku bikin kamu susah." Walaupun lemah, Bintang menarik tangan Rasi, mengecupnya dalam dan lama. Tidak peduli sakit kepala itu berdentam-dentam lagi, dan gelisah yang merangkulnya semakin menyesakkan. Bintang tidak mau gadis yang dicintainya sedih, dia harus baik-baik saja untuk Rasi. Atau pura-pura baik-baik saja. Apa pun untuk gadis ini.

"Yang sakit kan, kamu, Bint. Aku tadi sudah makan sama Mbak Astrid. Kamu makan ya, aku suapin? Atau minum susu?" Rasi bergerak gesit ke nakas, meraih sekotak susu dan sebotol air mineral. "Minum air aja kalo enggak mau susu," lanjutnya.

Senyum Bintang kembali, tipis dan lemah. "Apa aja asal kamu temenin," katanya.

Setelah mengulas senyum lega, Rasi berjalan menjauh bermaksud membuka sedotan tetapi tangan Bintang menangkap tangannya, sedetik sebelum terlepas. Rasi berbalik cepat dan mendekati ranjang. "Bint," panggilnya panik. "Kenapa?"

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang