Bab 2 Calon Suami Beneran?

112 17 1
                                    

Bismillah,

"Ras. Ya ampun muka kamu kusut banget, sih?!" Miranda cepat-cepat menutup mulut dengan tangannya. Tidak tega melihat Rasi yang jelas sekali sedang bete, tapi juga geli karena tingkah kekanakan gadis itu.

Walaupun dalam keadaan normal Rasi sangat mandiri, kali ini gadis itu menunjukkan sisi lain dirinya. Jarang-jarang gadis berkulit cerah itu bersikap seperti sekarang. Berbaring dengan selimut menutup sampai leher dan menampilkan wajah kuyu. Untung jilbab instannya tidak lupa dipasang, sehingga rambutnya yang awut-awutan tidak kelihatan.

"Tenang dulu, Ras. Jangan emosional gini. Kamu kan biasanya cool, nggak terburu-buru. Dibanding Miranda kamu jelas lebih waras, loh," Teno menimpali. Berbeda dengan Miranda dia memasang tampang serius.

"Eh kalo ngomong yang sopan, ya," protes Miranda dengan wajah galak.

Sementara Rasi belum mengucapkan sepatah kata pun. Mendengarkan perdebatan khas sahabatnya dengan wajah murung. Sisa-sisa air mata terlihat di sudut matanya.

Sementara Miranda dan Teno masih saling meledek, mata Rasi mulai berkaca-kaca. Sambil memegang ponsel dengan satu tangan, Rasi mulai sibuk menghapus air matanya. Ingin rasanya mematikan group video call yang sedang berlangsung, tapi itu sama saja mengembalikan Rasi ke situasi galau yang gelap.

Jika dihantam bad mood yang dilakukan Rasi hanya dua. Pertama, pergi dan berjalan-jalan di tempat terbuka karena menurutnya udara luar sangat bagus untuk menormalkan mood. Kedua, mengurung diri di kamar lalu melakukan video call dengan Teno dan Miranda. Dua sahabatnya itu selalu bisa memperbaiki moodnya.

Sayangnya kali ini hal itu tidak berlaku.

"Ras, kok nangis, sih?" tanya Teno dengan raut khawatir. "Kamu pengen makan apa? Aku beliin sekarang, nih."

Rasi menggeleng dan air matanya berderai semakin deras.

"Aku ke rumah kamu sekarang ya, Ras." Teno membujuk lagi. "Sama Miranda," lanjutnya. Sudah tahu kalau orangtua Rasi tidak akan mengijinkannya berduaan dengan Rasi. Jadi Miranda satu-satunya solusi.

"Eh, aku nggak bisa kalo sekarang, Ten." Miranda terlihat serba salah. Mengacak rambutnya sambil cemberut. "Aku ada janji sama Mas Nova. Mau beli cincin buat tunangan. Aku kan juga mau tun—"

Kalimat Miranda terputus karena tangisan Rasi yang mendadak naik volumenya. Mendengar kata 'tunangan' dia semakin galau. Teringat pembicaraan dengan Mama tentang calon suami dan keluarganya yang akan datang Sabtu malam.

"Cup, cup. Sudah ya, Ras, tenang dulu. Jangan nangis," ucap Teno semakin bingung. Melirik Miranda yang sedang mengacak rambutnya sambil meringis. Sahabatnya itu pasti juga sedang memikirkan cara untuk membujuk Rasi.

"Ras, kamu tenang ya. Aku sama Miranda ke rumah kamu sebentar lagi," ucap Teno yakin.

"Ten, nggak bisa. Kan, udah aku bilang aku mau-"

Miranda langsung bungkam, tidak meneruskan kalimatnya melihat ekspresi menyeramkan Teno. Perempuan berambut sepunggung itu, mencebik. Kesal karena tidak bisa melawan Teno.

"Iya, Ras. Aku sama Teno ke situ, deh. Kamu mau roti bakar apa spaghetti?" tanya Miranda sambil menahan kesal.

Rasi menggeleng. Melihat itu Teno dan Miranda kompak membuang napas. "Ya udah kamu mau apa? Aku janji bakal nurutin kemauan kamu." Teno akhirnya mengalah.

"Jalan-jalan di taman," ucap Rasi masih sesenggukan.

Mendengar itu Teno tersenyum. Akhirnya ada cara untuk menghibur Rasi. Tanpa menunggu lama video call itu segera diakhiri. Teno bergerak cepat, mengemudikan Mazda CX 30 untuk menjemput Miranda. Setelah itu melesat ke rumah Rasi.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang