Bab 29. Rencana Paling Menyedihkan

26 7 1
                                    

Bismillah,

Sudah dua bulan berlalu, tetapi perang yang bergejolak dalam kepala Bintang masih terus berlangsung. Kadang perang itu mereda, karena pertemuan-pertemuannya dengan Rasi. Pertalian hati di antara mereka semakin erat, sehingga selintas suara atau senyuman saja bisa membuat Bintang mereduksi suara-suara yang begitu riuh dalam kepalanya. Semakin hari dia semakin tidak rela melepas kekasihnya. Semakin tidak sanggup rasanya hidup tanpa sosok gadis kalem itu. Perasaan itu memicu pertentangan yang semakin besar dalam benak Bintang. Melepas dan membebaskan Rasi dari beban seorang pasien sepertinya, atau bersikap egois dengan menahan Rasi tetap bersamanya. Hal yang beresiko membuat Rasi kehilangan masa-masa bahagia dalam hidupnya.

"Bint." Sebuah tepukan di bahu menyadarkan Bintang. "Sorry, sudah lama nunggu?" tanya Ivan sambil menghempaskan tubuh di samping Bintang.

"Baru 10 menit," jawab Bintang dengan wajah lesu.

"Udah pesen?" Ivan bertanya lagi, seraya memerhatikan sahabatnya yang kelihatan termenung.

"Belum."

"Tumben? Emang sudah makan? Ngopi?" Ivan menampilkan raut heran karena Bintang terlihat lesu. Hampir dua bulan mereka hanya bertemu secara online, lewat Zoom atau video call karena Bintang beralasan ingin pemulihan. Beberapa proyek yang mereka dapat juga diselesaikan lewat online. Hari ini pertama kalinya mereka bertemu secara langsung di kafe kecil langganan. Dan, Ivan disuguhi pemandangan tidak biasa. Bintang yang biasanya santai dan banyak tersenyum terlihat muram.

Ivan memanggil waiter dan menyebutkan pesanan. Selesai melakukan itu, dia menoleh pada sahabatnya yang masih termenung. "Bint, yakin enggak mau makan atau minum?"

"Kopi ... tanpa gula." Mata Bintang masih mengarah pada tablet, tetapi tatapannya terlihat kosong.

Ivan mengernyitkan kening. Lelaki berkacamata itu diam, seolah menunggu Bintang melanjutkan kalimatnya. Beberapa detik berlalu, Ivan akhirnya bersuara, "Nasi goreng Jawa spesial, satu," katanya pada waiter. Lalu beralih pada Bintang, dia berkata, "Kamu harus makan!"

"Enggak usah, Van. Aku enggak bisa makan itu!" kata Bintang dengan suara meninggi. Bahkan waiter itu pun berjengit kaget. Setelahnya lelaki itu menggesah, menunduk lalu mengacak kasar rambutnya.

Ivan sempat terdiam, lalu mengatakan kalau mereka sudah selesai memesan pada waiter. Segera setelah si waiter berlalu dia bertanya dengan mimik heran, "Kamu kenapa, sih?"

"Aku enggak bisa makan sembarangan." Bintang menjawab lirih, masih menunduk dalam. Dia tahu Ivan masih menunggu penjelasan. Setelah menelan ludah beberapa kali, Bintang akhirnya mengangkat wajah, tetapi masih menghindar bertatapan dengan Ivan. "Aku ... kena diabetes. Harus diet ketat," terangnya dengan nada murung.

Sekarang Ivan memutar tubuh, menghadap Bintang yang masih sedikit menunduk. Lelaki berkulit terang itu membetulkan letak kacamatanya, lalu mengarahkan tatap pada sahabatnya. Gerak-geriknya kentara sekali menyiratkan kebingungan untuk bereaksi. "Maaf aku enggak tahu, Bint. Tapi kamu pasti sembuh, kan?" Nada bicara Ivan menyiratkan ragu. Tangannya ikut gelisah, beberapa kali membetulkan letak kacamata.

Reaksi Bintang adalah senyum miris. Baginya kata 'sembuh' terasa menyakitkan. Penyakit yang dideritanya terdengar tidak berbahaya, karena banyak orang mengidap diabetes dan terlihat baik-baik saja. Padahal diabetes adalah penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan stroke. Dan, penyakit itu rentan memicu banyak penyakit lain. Bintang teringat ucapan Aksa, kalimat yang menancap kuat di ingatannya.

Diabetes enggak bisa disembuhkan, Bint. Tapi, bisa dikendalikan asal kamu bisa ikutin pola hidup sehat. Tenang aja, Bint. Kamu pasti baik-baik saja.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang