Bab 33. Ternyata Aku Harus Percaya!

18 7 1
                                    

Bismillah,

Selama beberapa menit Rasi hanya sibuk mencorat coret buku sketsanya. Karang-karang dengan ikan kecil berlarian, pohon kelapa yang daunnya ditiup angin, lalu rumah apung dan cincin bermata satu. Cincin yang sampai sekarang masih terpasang di jari manisnya. Jari Rasi yang memegang pensil berpindah ke bidang yang masih kosong. Sekarang dia menggambar titik-titik kecil yang membentuk rasi bintang Orion. Setelah selesai, gadis itu menghela napas, menutup buku sketsa dan berjalan ke jendela yang tirainya masih terbuka.

Langit gelap langsung menyapa. Ramalan cuaca menyiarkan hujan lebat akan turun jam sebelas malam nanti. Karena itu tidak heran, tidak ada bintang yang menyambut. Rasi merasa matanya panas ketika menatap langit. Teringat kalimat Bintang waktu itu.

"Aku akan jadi Orion."

"Tiap kali kamu sedih, lihat ke langit, Ras. Orion akan selalu ada di sana."

"Kamu bohong," bisik Rasi lalu menggigit bibirnya. "Sekarang kamu enggak ada. Kamu bikin aku sedih, Bint. Kenapa?" Dengan cepat Rasi menyusut air mata. Dia sudah berjanji tidak akan cengeng dan menangis lagi. Namun, dia belum bisa menahan kesedihan setiap kali teringat kenangan-kenangannya bersama Bintang.

Lamunan sedihnya terjeda karena layar ponselnya menyala. Tanpa menatap Rasi sudah tahu siapa yang mengirim pesan malam-malam begini.

Teno: Sudah tidur, Ras?

Rasi meraih ponselnya tanpa semangat, lalu menutup tirai. Tidak ada gunanya mencari-cari Orion, pikirnya. Namun detik berikutnya, dia berubah pikiran. Tangannya kembali menarik tirai sampai terbuka. "Enggak ada salahnya menunggu, siapa tahu mendungnya pergi," gumam Rasi. Sekarang dia membuka aplikasi pesan, mengetikkan balasan untuk Teno. Sahabatnya itu akhir-akhir ini menunjukkan perhatian yang semakin intens. Rasi mengerti, lelaki itu mengkhawatirkannya. Namun, cara Teno menatapnya belakangan ini membuat Rasi berdebar.

Rasi: Belum.

Teno: Mau video call enggak?

Jeda lebih lama. Rasi berpikir, dia lebih suka sendirian. Mendalami patah hati dan kesedihannya sendiri. Ketika putus dengan cara yang 'aneh' dari Ryu, Rasi sama sekali tidak merasa patah hati. Hanya perasaan bersalah pada lelaki itu. Dia sudah mengirimkan pesan berisi permintaan maaf, yang hanya dibaca oleh Ryu. Kali ini Rasi merasakan apa yang dialami Ryu.

Sakit dan patah hati. Ini pengalaman pertamanya, tetapi kenapa dia merasa tidak akan sanggup menemukan pengganti Bintang.

Suara deringan ponsel menyadarkan Rasi. Nama dan foto Teno muncul di layar. Setelah beberapa detik Rasi memutuskan menerima panggilan itu. Dia memastikan sudah memasang jilbab instannya dengan baik, barulah Rasi menyalakan kamera.

"Hey," sapa Teno dengan senyum lembut.

Rasi hanya tersenyum kaku.

"Maaf aku vidcall malem-malem."

"Enggak apa-apa." Rasi mencoba tersenyum tapi sulit. Karena ingatannya malah kembali pada Bintang. Teringat ketika malam itu Bintang melakukan video call. Lalu Rasi menemukan lelaki itu dengan wajah lebam karena berkelahi dengan Ryu.

"Besok jadi ikut seminarnya Chef Robby? Aku anterin ya," kata Teno.

"Hm ... mungkin. Tapi ... aku pergi sendiri aja ya."

"Kebetulan aku ada urusan sama klien juga. Tempatnya sama di Golden Tulip. Mau ya aku anter," pinta Teno. "Aku traktir, deh," lanjutnya dengan senyum lebih lepas.

Anggukan Rasi akhirnya menjadi jawaban. Dia terkesan dengan cara Teno menghiburnya, walaupun lelaki itu tidak berhasil mengusir kesedihannya. Rasi tahu, Teno melakukan apa saja untuk membuat Rasi tersenyum. Dia juga berpikir untuk kembali menyibukkan diri dengan bisnis TeRa Cake, supaya sakit di hatinya bisa sedikit terlupakan.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang