Bab 11. Kamu Galau, Aku Galau

33 7 0
                                    

Bismillah,

"Sore, Pak Bintang."

"Sore," balas Bintang sambil mengangguk kecil dan tersenyum tipis. Lalu bersiap menyalakan motor.

"Pak Bintang pulang sendirian?" Suara perempuan yang tadi menyapa terdengar lagi.

Jawaban Bintang hanya selintas anggukan, dia lebih fokus memasang helm dan bersiap melajukan motor CB Retro kesayangannya. Sudah biasa digoda mahasiswi-mahasiswi yang diajarnya, jadi tanggapan Bintang biasa saja. Bukan hanya digoda, ada juga mahasiswi nekat yang terang-terangan bilang cinta dan mengajak nongkrong bareng.

Untungnya Bintang tidak merespon. Dia memang bandel dan sempat bergelar playboy, tetapi ada bagian dirinya yang masih ingat dengan akhlak. Dia juga sudah berjanji pada diri sendiri untuk membatasi hubungan dengan mahasiswi yang diajarnya. Apalagi setelah bertemu Rasi. Bagi Bintang tidak ada lagi perempuan lain. Perempuan berwajah kalem itu sudah mencuri bagian merah jambu hatinya.

"Pak Bintang saya ngajukan Bapak sebagai dospem, tolong diterima, Pak!"

"Saya mau ngulang mata kuliah, Bapak lagi. Boleh ya, Pak?"

Kalimat-kalimat godaan itu masih terdengar, tetapi Bintang tidak lagi menggubris. Dengan santai dia melarikan motor CB berwarna perpaduan cokelat dan hitam. Cewek-cewek cantik dan menarik itu boleh saja menggodanya. Mereka tidak tahu kalau hati Bintang sudah terkunci untuk satu nama.

Dulu pernah ada nama Lita. Yang kemudian dihapus Bintang dengan mudah. Sekarang nama Rasi menancap kuat, jauh lebih kuat dari Lita. Nama yang sebenarnya sejak lama terukir di hati Bintang.

Mengendarai motor dengan pikiran dipenuhi kebersamaan dengan Rasi, Bintang akhirnya sampai di kafe tempatnya janjian dengan Ivan. Setelah memarkir motor, dia berjalan masuk. Sempat celingukan sebentar sebelum akhirnya menemukan Ivan di meja pojok dekat jendela.

"Van, sorry telat." Bintang langsung menghenyakkan tubuh ke kursi.

"Aman, kliennya belum datang." Ivan tidak mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Klien yang ini minta dibuatin apa, Van?" tanya Bintang sambil mengangkat tangan untuk memanggil waiter.

"Yang ini branding di sosmed. Aku dapet dari Mbak Dewi. Dia merekom kita karena kantornya lagi penuh banget," terang Ivan.

"Bagus juga koneksi kamu, Van. Hebat, warbiyasah!" ledek Bintang sambil meninju bahu Ivan.

"Kamu ngeledek?! Yang bawa Mbak Dewi ke kita, kan, kamu. Heran, kok bisa kamu kenal orang baik-baik kaya suami Mbak Dewi," cibir Ivan.

Bintang terkekeh lalu menyulut rokok. "Suaminya Mbak Dewi, temennya Aksa."

"Mas Aksa, Bin. Kualat kamu, njambal sama Kakak sendiri!" protes Ivan.

Seperti biasa reaksi Bintang hanya tertawa ringan, lalu meneruskan merokok. Sore ini dia dan Ivan akan menemui klien baru. Perusahaan teknologi informasi yang mereka dirikan tiga tahun belakangan ini mulai kedatangan banyak klien. Awalnya mereka menerima pembuatan web sekaligus hostingnya. Lalu layanan itu berkembang pada penyediaan domain, dedicate server dan domain, dan sekarang jasa branding sosial media.

Pekerjaan yang tidak mengikat karena jam kerja fleksibel, tidak ada kewajiban untuk bangun pagi dan berkutat di belakang meja sampai sore adalah cita-cita Bintang sejak lama. Dia sadar tidak dilahirkan sama persis dengan Aksa, kakaknya, apalagi Chandra. Aksa menjadi dokter, dan sedikit memberontak dengan cara tidak mau menjadi dosen seperti keinginan Ayahnya. Lelaki itu sejak dulu memang suka berurusan dengan obat-obatan dan menolong orang sakit. Sedangkan Chandra mirip sekali dengan Perdana. Suka keteraturan dan hal-hal ilmiah yang disalurkannya dengan penelitian. Adik bungsu Bintang itu sejak SMP sudah hobi ikut lomba karya ilmiah, dan sering jadi juara.

The Last StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang