44

50.5K 6.1K 423
                                    

Malam harinya, kondisi kamar Zidane yang bernuansa biru laut, dihiasi canda tawa di dalamnya. Bukan karena Zidane yang tertawa, tawa ini berasal dari Chila—Adik perempuannya yang tertawa kecil melihat sebuah video yang ditunjukkan oleh Zidane. Zidane pun ikut tersenyum, sungguh tawa Adiknya menjadi hiburan tersendiri baginya.

"Lucu, anak bayi~" Gadis kecil itu menunjuk layar handphone Zidane, yang memperlihatkan anak balita yang tengah menangis. "Anak bayi~"

"Adik Abang masih bayi~" Zidane membalas tak kalah gemas, jika dibandingkan suara Chila. Dia benar-benar terhibur, mendengar ucapan Chila membuatnya tertawa kecil, padahal yang menyebut anak bayi, juga adalah bayi bukan? Adiknya ini masih lucu, tau.

"Selu! Abang lagi!"

Zidane mengusap rambut Chila, membiarkan gadis itu bersender ke tubuhnya. Dia mengganti-ganti layar handphonenya, dengan Chila yang menunjukkan ekspresi berubah-ubah, namun hampir semuanya hanya tawa kecil yang menggema.

"Abang apek ketawa~" Chila memegang perutnya yang sedari tadi turun naik, Zidane kembali terkekeh kecil saat menyadari jika Chila nampak lelah, tawa gadis kecil itupun juga ikut perlahan mereda.

Zidane kembali mengganti layar handphonenya, yang menampilkan sebuah video kartun si kembar botak yang belajar mengaji. Bisa Zidane lihat, jika Chila nampak berbinar melihatnya.

"Bismillahi—"

"Bis—"

"Arrahmani—"

"Ni—

"Rahim. "

"Im—"

Zidane mengangguk, membiarkan Adiknya ini berkomat-kamit sendiri, apalagi saat huruf Hijaiyah dilafalkan dengan bernada. Si kembar botak yang nampak excited melafalkannya. Dan tidak lama setelahnya, terdengar suara pintu diketuk, membuat Zidane menoleh ke asal suara. "Masuk. "

Pintu tersebut terbuka, menampilkan wanita paruh baya yang nampak awet muda itu tersenyum menatapnya. "Mamah? Mau jemput Chila tidur?"

Kamila—wanita itu lantas menggelengkan kepalanya. "Tidak, Mamah hanya ingin mengecek, siapa tau kamu membuat Chila menangis. " Kamila terkekeh kecil, yang membuat sudut bibir Zidane sedikit terangkat, walaupun dia tidak mengeluarkan kekehan ringan.

"Mamah mau beli sesuatu?" Zidane mendadak terfokus jika Kamila tengah memegang uang berwarna biru di tangannya.

"Ah iya, Mamah ingin meminta bodyguard untuk membelikan martabak manis, sudah lama Mamah tidak memakannya, jadi Mamah ingin beli. " Kamila berbalik. "Ya sudah, Mamah ingin ke bawah. "

"Tunggu, Mah. Biar Zidane yang beli. "

"Kamu? Nggak perlu, Mamah bisa meminta bodyguard untuk mencarikannya, ini sudah malam. "

Kini giliran Zidane yang menggelengkan kepalanya, kemudian beranjak dari kasurnya. "Biar Zidane yang beli, Zidane mau cari angin malam bentar, ya? Ya ya?"

"Ah baiklah, jangan kebut-kebutan. " Kamila kembali terkekeh kecil, melihat Zidane yang seperti ini membuatnya merasa sangat lega, perasaan yang dulu membentengi interaksinya bersama putranya, sudah hilang bak ditelan bumi. Dia berjanji untuk tidak akan mengingkarinya. "Atau Mamah akan marah. "

"Siap Komandan!" Zidane mengangkat tangan kanannya untuk hormat, dengan senyuman yang terpatri. Dia menyalami punggung tangan wanita itu, mengucapkan salam dan setelahnya langsung melesat pergi meninggalkan ruangan kamar itu.

"Semoga putraku selalu bahagia, Tuhan. " Kamila membatin, sorot matanya berubah sedikit sendu. Dia tau, sikap Zidane seolah sangat mudah menerima kehadirannya, namun yang dilihat Kamila—anak itu masih tertutup, dia masih menyembunyikan banyak hal di dalam pikirannya, entahlah. Dia hanya berharap jika Zidane akan selamanya diselimuti kebahagiaan. "Aku sudah melakukan banyak kesalahan padanya. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang