Senyum yang ku ukir semata untuk menghiasi lukaku. Tawa yang berisik itu ku jadikan tempat untuk bersembunyi. Meski kini percuma, apapun caranya, luka itu tetap dapat dilihat olehnya.
***
Sherina terlihat masih berusaha untuk meredakan tangisnya sedangkan Sadam di sebelahnya tak juga melepas tatapannya. "Huuuuffft..." perempuan itu menghembuskan nafas panjang lalu ia terkekeh. "Maaf ya, malah jadi nemenin aku nangis begini.." ucapnya tak enak mengingat sedari tadi Sadam terlihat panik dan bingung untuk menenangkannya.
Wajah Sadam masih terlihat bingung sebelum meraih sebotol air mineral dari cooler di mobilnya. "Ini, minum dulu." di sodorkannya botol itu pada Sherina setelah ia berhasil membuka tutupnya.
"Makasih ya Dam.." Sherina lantas meneguk air mineral itu. kemudian kembali menghembuskan nafasnya. Lelah. "Kayaknya aku harus turun, kasihan anak-anak di dalem pasti masih perlu di bantu.."
"Yakin turun dengan keadaan kamu yang kayak gini? Gak mau pulang duluan aja?" pertanyaan Sadam kali ini membuat Sherina yang sudah akan membuka pintu mobil itu menghentikan gerakannya, tampilannya saat ini pasti sangat kacau, pikirnya. "Biar aku aja yang turun.. Ada yang mau di sampaikan ke mereka? Sekalian aku ambil barang-barang kamu, aku antar pulang ya?" dan pada akhirnya Sadam turun dari mobil miliknya untuk berpamitan pada orang-orang yang berada di galeri dan menitipkan semua urusan disana kepada Krisna sesuai dengan pesan yang Sherina berikan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Sherina hanya di isi dengan keheningan. Sadam kehilangan kata untuk sekedar berbasa-basi atau memastikan jika perempuan di sebelahnya baik-baik saja, begitu juga dengan Sherina yang merasa tak enak hati karena pada akhirnya jadi merepotkan satu orang asing yang kini menepikan mobil di pinggir jalan sebelum mendekati perempatan lampu merah di depan mereka.
"Sher, ini kamu pulang ke mana? Arahnya?" pertanyaan Sadam ini membuat Sherina menepuk kening, menyadari ia sama sekali belum memberi tahu dimana tempat tinggalnya.
"Ambil kanan, perumahan di belakang supermarket yang waktu itu kita ketemu Dam. Tahu kan?" Sadam berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepalanya, kembali mengemudikan mobil dan berhenti di lampu merah.
"Rumah ayahmu?"
Sherina menggeleng, "Rumah warisan dari ibu." bibirnya tersenyum lalu menunduk menatap tumpukan barang di pangkuannya. Sherina baru saja benar-benar menyadari jika seluruh hidupnya ternyata hanya di 'isi' oleh ibunya selama ini.
"Sudah di pastiin rumah nya aman?" pertanyaan Sadam kali ini membuat Sherina dengan wajah sembab itu menoleh, memiringkan kepalanya. "Takutnya ada kejadian yang tiba-tiba kayak mobil kamu tadi kan?" Dan kali ini wajah gadis itu berubah panik, takut jika rumah nya di masuki secara paksa oleh orang-orang suruhan ayahnya. Yang ia khawatirkan bukan hanya soal rumahnya tapi juga dua kucingnya.
"Bisa cepetan gak Dam bawa mobilnya?"
"Bisa, tapi mati." Jawaban Sadam kali ini membuat Sherina mengerjap. "Lampunya masih merah, gak cuma kena tilang, bisa kena tabrak orang nanti kita.." kedua tangannya terulur menunjuk ke arah depan, dimana banyak kendaraan melaju kencang dari arah kanan beradu cepat dengan rambu lalu lintas.
"Astaga.. sorry-sorry.."
"Kamu panik ya? Sabar sebentar ya.." Lalu setelah lampu merah berganti hijau Sadam kembali melajukan mobil secepat yang ia bisa hingga ia berhasil memasuki area perumahan tua dan memarkir mobil di depan rumah Sherina hanya dalam waktu dua puluh lima menit saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Jiwa
FanfictionKaulah bidadari yang menari Bawa diriku terbang bersama angan Namun tak selamanya semua kan jadi indah Matamu berbicara, kisah kita mungkin berakhir indah.