22

200 16 30
                                    

Berusaha melangkah pergi, namun nyatanya aku kembali kalah dengan rasa yang ku punya.

***

Sherina masih terus terisak di pelukan Sadam, sedangkan pria itu sama sekali tak mengucapkan sepatah kata apa pun untuk berusaha menenangkan, hanya tangannya yang terus bergerak mengusap pelan punggung Sherina.

Berkali-kali berusaha hentikan tangis, namun nyatanya ia belum sanggup membendung air matanya yang masih deras mengalir. Mengingat bagaimana ia kehilangan Sadam selama tiga minggu kemarin, itu adalah waktu yang cukup lama untuk Sherina merasakan kebingungan tanpa arah seorang diri, tak bisa di bayangkan jika nanti Sadam benar-benar menghilang dari hidupnya. Remasan tangan Sherina di baju yang Sadam kenakan berubah menjadi pukulan-pukulan ringan di dada pria itu.

"Mau sampai kapan sih ini nangisnya, hmmm?" Sadam berujar lembut, menahan tangan yang mengepal memukul dadanya lalu sedikit mengayun tubuh yang masih di rengkuhnya dalam posisi duduk itu. Rasanya kepala Sadam sudah tak lagi sanggup merekam suara tangis dari Sherina yang tak juga berakhir, bahkan tangisnya sanggup membuat kaos berwarna putihnya separuh basah di bagian depan.

"Se-sepuasnya lah!" Sherina sesenggukan menjawab. Entahlah ia sendiri heran mengapa air matanya tak juga habis. "A-aku akan terus nangis, bi-biar kamu gak pergi!"

"Astagaaaa..!" Sadam terkekeh, mengecup puncak kepala Sherina. "Udah dong, capek loh nangis terus."

Sherina perlahan menarik nafasnya, meski sulit pada akhirnya ia memang harus berhenti menangis, perlahan melepaskan diri dari rengkuhan Sadam. Sekali lagi, Sherina mengusap wajahnya, menyingkirkan air mata yang masih saja mengalir.

Sadam beranjak, keluar dari ruangan membuat Sherina menatap punggung pria itu dari tempatnya duduknya. Menarik nafas sebelum akhirnya mengikuti Sadam keluar dari ruang lukisnya.

"Minum dulu, Sher!" Sadam menyerahkan segelas air putih saat Sherina baru saja keluar dari ruangan lukisnya, mengusap kepala Sherina pelan ketika gelas sudah berpindah tangan. Tertawa miris menatap betapa kacau perempuan di hadapannya ini akibat dari ulahnya. "Maaf ya.." ujar Sadam.

Sherina melangkah acuh ke arah sofa di ruang tv, tanpa menjawab ucapan Sadam. Masih berusaha menenangkan diri setelah tangisan panjangnya yang ia tahan sejak hari pertama Sadam menghilang. Sadam mendekat, duduk bersila di ujung sofa, menyamping menatap Sherina yang sesekali terlihat menarik nafas panjang.

"Lima bulan lagi.." Sadam memijat keningnya pelan, tersenyum getir. Sherina menoleh ke arah lelaki di sampingnya lantas menggeleng sembari merubah posisi duduknya, ikut bersila menghadap Sadam di ujung sofa tempatnya duduk. Berhadapan dengan sedikit berjarak seperti ini membuat Sherina merasa jika memang Sadam sedang berusaha menjauhkan diri darinya.

"Aku gak bisa sama Gian!" gumaman pelan itu masih jelas terdengar oleh Sadam. "Dia gak bisa kayak kamu." tatapan lekat Sherina itu sama sekali tak beralih dari lelakinya. Terlihat Sadam menggelengkan kepalanya.

"Ya kan memang dia bukan aku say-Sher.." bahkan kali ini Sadam meralat panggilannya setelah beberapa waktu lalu ia masih memanggil Sherina 'Cinta'.

"Dia gak bisa perlakukan aku dengan baik! Semua harus selalu tentang dia! Aku gak bisa lagi maksain diri Dam! Kalau pun selamanya aku harus sendirian seumur hidup aku, aku gak apa-apa!"

"Belum, kamu masih perlu adaptasi sama Gian, Sher.. Cinta gak bisa tumbuh semudah itu!"

"Tapi kenapa dengan kamu semua rasa nya mudah?! Tiba-tiba kamu muncul, kamu masuk di hidup aku, aku bisa se-jatuh-jatuhnya cinta sama kamu dalam waktu sesingkat itu! Terima kamu di hidup aku! Bisa ceritain semua hal yang gak pernah aku ceritain sebelumnya ke orang lain. Sama Gian aku gak bisa! Semua cerita tentang dia gak ada yang bikin aku tertarik untuk cari tahu lebih jauh, banggain keluarganya, bisnisnya, trip liburannya, hobi nya, semua cuma bikin aku muak!"

Hasrat JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang