Yang menjauh belum tentu rela, dia hanya bersikap dewasa. Menyadari bahwa cinta tak selalu harus berakhir bahagia.
***
Sejak kepulangan Sadam, Sherina hanya berdiam diri di dalam ruangan lukisnya. Menorehkan cat pada kanvas di hadapannya, menggambarkan tautan tangan yang hampir terlepas. Seperti hubungannya dengan Sadam yang mungkin sudah hampir menemui akhirnya.
Sherina tersenyum getir mengingat nama Sadam membuatnya kembali teringat dengan yang terjadi semalam, lagi-lagi pikirannya keliru. Ia pikir dengan telah merasa memiliki utuh satu sama lain maka ia akan rela melepaskan, kenyataannya bayangan Sadam di kepalanya semakin terasa begitu nyata. Sedikit tersentak dari lamunannya, ketika dering nyaring dari handphonenya memecah sunyi. Nomor asing muncul di sana. Mengumpulkan nyalinya sesaat, sebelum ia menggeserkan ibu jari nya di atas layar.
"Hallo? Selamat siang?!" Sapanya. Lalu terdengar kekehan di seberang. "Maaf, saya berbicara dengan siapa ya?"
"Formal banget sih Sher?! Ini aku, Gian. Hari ini kamu ada acara gak? Aku mampir ke rumah sepulang kerja nanti boleh?"
"Oh.. ya ampun.. aku pikir buyer lukisan.. sorry.. sorry.."
"Hmmm ibu pelukis satu ini, lukisannya laris banget kayaknya ya?!"
"Haha.. lumayan lah.." tawa itu tentu saja tawa yang di buat-buat.
"Jadi gimana, hari ini ada acara gak? Pulang kantor nanti aku mau mampir nih, amankan dulu tuh kucing-kucingnya.."
"Mm? Mau mampir? Kalau ketemu di supermarket aja gimana? Aku kebetulan perlu belanja bulanan. Isi kulkas udah kosong.."
"Mmmm, seru kayaknya.. boleh deh, aku jemput jam lima sore ya Sher!"
Panggilan berakhir, perempuan berambut panjang itu menghela nafasnya, lantas berpikir haruskah ia beri tahu Sadam jika ia akan pergi dengan Gian sore ini seperti yang di mintanya? Tidakkah itu justru menyakitinya? Tapi jika tidak, apa bisa di bilang dirinya tengah menyelingkuhi Sadam? Atau harusnya ia menolak Gian saja? Membatalkan ajakannya barusan?
Perempuan itu lantas melangkah ke luar dari ruang lukisnya, menjatuhkan diri di sofa ruang tengah yang sialnya justru membuatnya mengingat bagaimana mereka memulai semalam. Situasi ini membuat Sherina kian terbelit dengan rumitnya rasa yang dia miliki untuk Sadam.
Beberapa kali ia mengetikkan pesan yang di tujukan untuk kontak Sadam, namun kembali di hapusnya. Memilah kata yang tepat meski rasanya sia-sia karena akan tetap menyakiti. Berubah pikir, ia berniat bicara melalui sambungan telepon pada Sadam agar pria itu tak salah paham namun lagi-lagi ragunya lebih kuat hingga pada akhirnya Sadam lebih dulu menghubunginya.
"Sayang?? Are you oke?"
Sherina berdehem, entah kenapa ia harus merasa sebegini gugupnya kali ini. "Oke.. i'm oke, Dam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Jiwa
FanfictionKaulah bidadari yang menari Bawa diriku terbang bersama angan Namun tak selamanya semua kan jadi indah Matamu berbicara, kisah kita mungkin berakhir indah.