Aku lebih baik berjuang untuk mendapatkan mu daripada berjuang untuk melupakanmu.
***
Sejak ia keluar dari kamar dan bergabung dengan dua orang tua nya, air muka Sadam terlihat sendu. Dari semalam, Sherina nya seolah menghilang dalam sekejap. Semua pesan yang Sadam kirimkan jangankan di balas atau di baca, hanya centang satu yang muncul disana. Suasana di meja makan tak sehangat biasanya, pak Ardiwilaga terlihat diam sambil menikmati sarapannya begitu juga bu Ardiwilaga yang sibuk menaruh makanan ke atas piring milik Sadam.
"Sadam berangkat sekarang ya!" Mendorong pelan kursi yang di duduki nya, Sadam beranjak bahkan sebelum ia menghabiskan makanannya.
"Apa yang di mulai dengan salah, akan susah jalannya Dam. Baik aja tuh gak cukup kalau cara doa nya saja sudah berbeda." ucapan pak Ardiwilaga ini membuat Sadam terdiam di tempatnya menatap nanar pada pria panutannya. Apakah ini artinya kedua orangtuanya tak merestui hubungannya dengan Sherina?
"Papi suka sama anak itu, dia bisa ambil hati mami papi hanya dengan hasil karyanya bahkan. Tapi cukup sebagai temanmu saja.." telak. Sadam jelas menangkap maksud papinya.
"Pi, masih pagi." bu Ardiwilaga menengahi.
"Ya itu lagian si Sadam. Nyari calon tuh di cari tahu dulu sampai ke keyakinannya, jangan hanya karena can-"
"Udah ya, Sadam berangkat!" Sadam yang biasanya akan mengutarakan segala pendapatnya pada ke dua orang tuanya kali ini memilih menghindari obrolan yang akan berakhir dengan perdebatan. Berjalan keluar dari rumahnya lalu menyebrangi jalan menuju ke klinik miliknya.
"Astaghfirullah! Mas! Ngagetin aja!" ucap Kiki yang baru saja akan memulai pekerjaannya. "Kok tumben pagi bener udah ke klinik? Mau bantuin bersihin litter box ya?" pertanyaan Kiki tak di gubris oleh Sadam yang berlalu masuk ke dalam ruangannya begitu saja, lalu menundukkan kepala, bertumpu pada tangan yang di lipatnya di atas meja.
Kiki yang melihat itu dari celah pintu tanpa berpikir panjang segera menghampiri dengan wajah khawatir. "Mas Sadam, sakit?" pria itu mengangkat wajahnya menggeleng pelan lalu menyandarkan tubuhnya yang terasa tak bertenaga pada kursi kerjanya.
"Pusing Ki!"
"Tadi geleng kok pusing? Sakit apa enggak jadinya?"
Sadam kembali menegakan tubuhnya, menatap Kiki sambil berpikir sejenak sebelum mengutarakan isi kepalanya. "Saya mau tanya Ki, misalnya, kamu punya pacar, kamu ciiinnnta banget sama dia tapi Tuhan kalian beda, kamu bakal gimana? Kamu yang ikut dia atau minta dia yang ikut kamu?"
Kiki tersenyum lalu menarik kursi di hadapan Sadam untuk dia duduki. Kepalanya menggeleng "Maaaas.. maass.." ucapnya terkekeh, "Kalau saya ya mas, ya jelas saya menghindari untuk memulai sesuatu yang saya tahu tidak bisa. Se-cinta apapun itu kalau tidak bisa ya gak usah sekalian. Cari penyakit namanya kalau maksain.." Kiki mencondongkan tubuhnya, melipat tangan di meja menatap lurus ke arah Sadam di hadapannya. "Lagi pula ya mas, urusan beginian tuh gak bisa aku minta dia pindah atau dia minta saya ikut dia. Kalau berpindah tapi alasan nya karena manusia ya ngapain? Manusia itu gak kekal dia bisa kapan aja pergi ninggalin kita, sedangkan Tuhan itu sampai akhir hidup akan selalu ada sama kita."
"Tapi kan namanya jodoh gak ada yang tahu Ki.."
Kiki menepuk kening, tertawa pelan. Meski terlihat galau manusia di hadapannya ini rupanya masih memiliki harapan. "Gini deh mas, jodoh itu memang di tangan Tuhan. Tapi kalau Tuhannya aja beda, gimana tangannya mau sama?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Jiwa
FanficKaulah bidadari yang menari Bawa diriku terbang bersama angan Namun tak selamanya semua kan jadi indah Matamu berbicara, kisah kita mungkin berakhir indah.