Sarah menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, panik bukan main saat tugasnya tinggal sepuluh menit lagi harus dikumpulkan, tapi laptopnya tiba-tiba kehilangan ikon wifi. Ia celingukan mencari satu-satunya penghuni rumah ini untuk dimintai bantuan.
"Gue panggil dia apa," gumam Sarah sambil berdiri di ambang pintu kamar. "Mas?" Ia mengernyit geli. "Atau kak?" Pikirannya berputar. "Masa kakak kayak manggil kating? Tapi kan dia memang kating gue."
Sarah memutuskan dengan spontan. Waktu terus berjalan, tugas harus segera dikumpulkan dalam waktu delapan menit lagi.
"Bang!" panggilnya spontan, tetapi tidak ada jawaban. Mau tidak mau, Sarah membuka pintu kamar itu. Memang tidak sopan, tapi situasinya benar-benar darurat.
Di dalam, seorang pria sedang berbaring memainkan ponselnya. Ia menoleh ketika pintu kamar terbuka.
"Bang, tolongin gue. Laptop gue wifinya hilang. Mana tugas harus gue kumpulin tujuh menit lagi," kata Sarah, hampir menangis.
Pria itu masih mematung, bajunya rapi seperti baru pulang dari kampus. Suara kipas angin yang berdengung samar menambah keheningan yang canggung di antara mereka.
"Itu, pakai laptop gue," katanya santai sambil menunjuk laptop di ruang tengah.
"Nggak bisa. Semua filenya ada di sini. Ayolah, Bang, bantuin gue sekali ini saja. Please!" Sarah memohon, kali ini mengesampingkan harga dirinya. Lebih baik mengemis bantuan daripada mengulang mata kuliah dengan dosen yang terkenal killer itu.
Pria itu akhirnya bangkit, mengambil alih laptop Sarah, dan berjalan ke ruang tengah. Sebelum menutup pintu kamar, Sarah sempat melirik ke dalam. Tidak ada yang istimewa, kamar laki-laki itu berantakan seperti biasanya. Bau rokok bercampur parfum memenuhi udara. Sebuah jaket tergantung sembarangan di kursi, dan gelas kosong berdiri di meja.
Sarah buru-buru menutup pintu dan menyusul ke sofa. Suara lantai kayu yang berderit samar terdengar saat ia berjalan.
"Padahal cuma gue tinggal ke kamar mandi bentar. Pas balik lagi, wifinya hilang," ujar Sarah, mencoba mencairkan suasana.
Pria itu tidak menjawab. Ia fokus memperbaiki laptop Sarah. Jemarinya mengetik dengan cekatan, sementara Sarah terus mengingatkan waktu.
"Bang, deadline tinggal tiga menit lagi."
Kebalikan dari Sarah, pria itu tetap tenang. Setelah beberapa saat, ia menyerahkan kembali laptop kepada Sarah. "Tugasnya mau dikirim ke mana?"
"Ke Google Drive. Yang ini," kata Sarah, menunjuk file tugasnya.
Pria itu menyerahkan laptop setelah memastikan semua selesai. "Thank you," kata Sarah lega melihat tugasnya terkirim tepat waktu.
Pria itu beranjak kembali ke kamarnya, namun sebelum melangkah jauh, ia berhenti.
"Oh iya," ucapnya, menoleh dengan tatapan tajam. "Soal kita, jangan sampai ada satu orang pun tahu. Terutama orang-orang di kampus."
Sarah menatapnya bingung.
"Iya, soal pernikahan kita. Gue harap kita bisa merahasiakan ini semua. Bersikap seolah nggak saling kenal. Dan satu lagi, kalau masuk kamar gue, ketuk pintu dulu. Meskipun kita sudah menikah, kita punya batas masing-masing. Gue di kamar lantai satu, lu di lantai dua. Gue nggak bakal melewati batas itu."
Pria itu masuk ke kamarnya, meninggalkan Sarah yang memandang pintu dengan perasaan geram.
"Zainal Mutaqqin, gue ini istri lu," gumam Sarah sambil mengepalkan tangan. Baru dua hari tinggal satu atap, rasanya sudah seperti dikurung bertahun-tahun.
"Di sini tuh bukan cuma lu yang jadi korban egoisme orang tua. Tapi gue juga. Emang lu pikir gue mau menikah di umur segini?" Sarah menatap pintu kamar Zainal yang tertutup rapat. Aroma rokok yang samar masih terasa di lorong.
Malam semakin larut, tapi Sarah belum juga bisa tidur. Perutnya terasa lapar. Lebih baik turun ke dapur untuk memasak sesuatu daripada berguling-guling di tempat tidur. Sarah berdiri di depan cermin, menyanggul rambutnya. Bajunya sedikit terbuka; belahan dadanya terekspos, dan panjangnya hanya sampai di atas lutut.
"Zaenal pasti sudah tidur," pikirnya, memutuskan turun dengan pakaian seadanya. Suara detak jam di kamarnya terdengar jelas, seolah ikut mengingatkan betapa sepinya malam itu.
Di dapur, ia memanggang roti dan membuat susu hangat untuk mengganjal perut. Aroma roti panggang mulai memenuhi udara. Sarah sesekali menguap kecil sambil menunggu roti matang.
Sayup-sayup, suara televisi terdengar. Sarah memastikan, dan benar saja, Zainal masih menonton bola. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Cahaya redup dari televisi memantul di dinding ruang tengah.
Sarah mengendap-endap agar Zainal tidak tahu keberadaannya. Jika Zainal sampai ke dapur dan melihatnya, pasti memalukan. "Jangan sampai dia ke dapur," gumam Sarah berulang-ulang, seperti mantra.
Namun, langkah Zainal menuju dapur terdengar semakin jelas. Sarah merasa panik. Ia berusaha menghindari tatapan pria itu dengan pura-pura sibuk menyusun piring.
"Sarah," panggil Zainal dengan nada rendah.
Sarah menoleh pelan, dan benar saja, Zainal berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus oblong yang sedikit kusut. Tatapannya tajam tapi terlihat lelah.
"Lu nggak tidur?" tanyanya.
"Lapar," jawab Sarah singkat, mencoba mengalihkan pandangan dari Zainal.
Zainal mengamati Sarah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ekspresinya sulit ditebak. "Bajunya... nggak ada yang lain?"
Sarah mendengus. "Lu ngapain ngatur pakaian gue di rumah sendiri?"
Zainal menghela napas panjang, lalu berjalan menuju lemari dapur untuk mengambil gelas. Ia menuangkan air putih dan meneguknya perlahan. "Gue cuma nggak mau ada masalah kalau tiba-tiba ada yang mampir."
"Jam segini siapa yang mau mampir?" balas Sarah.
Zainal terdiam, lalu menatap Sarah serius. "Kenapa, sih, kita harus kayak gini? Gue capek pura-pura nggak kenal lu di depan orang lain, tapi di sini gue harus ngurusin semua kayak kita ini pasangan beneran."
Sarah menelan ludah. Kata-kata Zainal itu memukul sesuatu dalam dirinya. "Gue juga capek," jawabnya pelan. "Capek dianggap nggak ada. Capek dijadiin beban lu. Kalau lu nggak mau gue ada di sini, bilang aja."
Zainal menunduk, menatap lantai untuk beberapa detik sebelum berkata, "Bukan gitu maksud gue."
"Terus apa?" desak Sarah, suaranya bergetar.
"Gue cuma... nggak tahu cara ngejalanin ini semua," kata Zainal akhirnya. "Gue nggak tahu gimana caranya bikin ini nggak terasa salah."
Hening sejenak di antara mereka. Hanya suara detik jam dan gemerisik roti yang mulai matang di toaster.
Sarah akhirnya berkata, "Kita nggak harus pura-pura saling nggak kenal. Tapi setidaknya, jangan bikin gue merasa sendirian."
Zainal menatap Sarah, dan untuk pertama kalinya, matanya melembut. "Gue bakal coba."
Sarah mengangguk kecil, lalu kembali ke roti panggangnya. Ada sesuatu yang berubah dalam atmosfer di dapur itu, seolah-olah jarak di antara mereka sedikit memendek.
"Malam ini lu tidur aja dulu. Besok gue bakal ajarin cara benerin laptop lu biar nggak panik lagi," kata Zainal sambil beranjak pergi.
Sarah tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, percakapan mereka terasa lebih manusiawi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar buku pernikahan
Teen FictionPernikahan Zainal dan Sarah bukanlah hasil dari cinta, melainkan perjodohan. Zainal, pria dingin dan pendiam, telah lama menjalin hubungan dengan Tania, wanita yang tidak mengetahui keberadaan Sarah dalam hidup Zainal. Sementara itu, Sarah, yang tah...