Begal (1)

4.6K 440 44
                                    

"Ca, lagi banyak begal akhir-akhir ini. Kamu kalo pulang agak malem, naik mobil aja ya. Kalo lagi ngga ada mobil, minta anter siapa gitu di RS kan deket paling 10 menit bolak balik. Kalo mau nunggu, ya aku jemput." sahut Renner di sebuah makan malam bersama keluarga Sabila.

"Nabila juga ya. Kalo Paul sibuk, naik taksi aja." tambah Renner.

Nabila mengangguk sambil menyantap makanannya, sementara Sabila menggubris Renner, "Jangan lebay. Begal kan di daerah pusat sana. Aku cuma di RS aja. Nggak kayak Nabila yang kerjanya mesti pergi-pergi."

"Nggak lebay aku, Ca. Polantas udah dikasih memo dari Kapolda Metro, saking banyaknya kasus dimana-mana." balas Renner.

"Kak, dengerin calonnya dong." sahut Bu Wina, Ibu Sabila.

Sabila mendengus. Sejak mereka resmi bertunangan, ibunya selalu saja memintanya untuk mengikuti semua perkataan Renner. Seakan, apa-apa harus dengan persetujuan Renner. Ia lalu menatap ke Ayahnya, yang biasanya selalu membelanya.

"Yah...nggak ada salahnya kan, lebih hati-hati? Bukan nggak boleh jalan kaki loh, Kak. Cuma kalo udah malem lebih baik jangan." ujar Pak Amri, kepala keluarga Dharmawan.

"Iya, tapi Ren- Mas Renner ini suka lebay, Yah. Pasti jam 7 juga udah dianggap malem sama dia." keluhnya.

Renner kali ini hanya bisa menghela nafasnya pelan, "Iya maaf deh kalo aku lebay. Aku nggak bermaksud ngatur kamu, Ca. Ini pure arahan dari kantorku loh. Kalo memo itu udah dicabut, kamu boleh deh jalan kaki sampe semalem apa juga..."

"...asal sama aku." tambahnya.

Renner tahu bahwa Sabila kurang begitu suka dengan cara berumah tangga orang tuanya yang masih sedikit tradisional, di mana Ibu Sabila cenderung selalu menuruti Ayahnya. Tapi di kasus ini, memang sebaiknya Sabila mengikuti perkataan Renner, bukan? Ini kan memang bidang Renner. Toh Renner merasa ia sudah banyak mengalah di hal lain.

"Ih. Tuh kan."

"Kakak ni emang Si Paling Mandiri emang, Mas Ren. Susah minta tolong." timpal Nabila. "Kalo pulang sama Kang Irman aja, gimana?" Usul Nabila.

"Nah iya, ide bagus. Nanti Ayah suruh Kang Irman standby buat antar jemput. Rumah dia kan deket juga." sahut Pak Amri.

"Kasian atuh. Aku kan gak tentu jadwal pulangnya. Kalau dia jadwalnya nge-Grab gimana?" tanya Sabila. Kang Irman memang mencari nafkah dari menyetir taksi online, di samping menjadi supir panggilan privat untuk keluarga Dharmawan.

"Ca. Bisa nggak sih, pikirin diri kamu dulu? Aku bayarin ongkos nariknya Kang Irman di hari dia mesti jemput kamu, deh." ucap Renner, kali ini lebih tajam. Ia sebenarnya merasa tidak enak harus berbicara sedikit keras di depan Ayah dan Ibu Sabila, tapi ia juga butuh meyakinkan Sabila.

"Ya deh.." sahut Sabila akhirnya.

"Nah gitu. Dengerin calonmu, nduk." ucap ibunya.

Sabila hanya tersenyum kecut dan menghabiskan makanannya.

⏳⏳⏳

Dua minggu kemudian. Jam delapan malam.

Sabila sudah menyelesaikan shiftnya dari 20 menit yang lalu. IGD masih ramai, semua koleganya masih sibuk menangani pasien. Ia sudah mencoba menghubungi Kang Irman, tapi ia ternyata sedang sakit demam.

Sabila tidak membawa mobilnya, karena Nabila ada jadwal pemotretan malam, jadi mobil keluarga Dharmawan dibawa Nabila malam itu.

Sabila lalu membuka aplikasi ojolnya dan memesan taksi online. Sudah 15 menit ia bergonta-ganti driver karena mereka kerap menolak, karena jarak rumah Sabila yang terlalu dekat, dan jarak mereka ke titik penjemputan yang terlalu jauh.

Tim Shadow dan PerintilannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang