Unjuk Rasa (2)

1.8K 262 85
                                    

Iqbal mengendarai motor dinasnya seperti orang kesetanan. Jarak antara gedung DPR tempat ia berada dan RS Medika memang tidak terlalu jauh, tapi tidak mungkin ditempuh selama sepuluh menit di kecepatan orang biasa. Sepanjang perjalanan, Iqbal hanya bisa mengumpat. Ada gila-gilanya polisi nangkep wartawan?

Kalau jadi berita, Kadiv Humas Metro yang baru akan sungguh kerepotan. Kalau dipikir, baru saja mereka mengalami krisis, sekarang sudah buat ulah lagi.

Capek juga nyapuin oknum. Batin Iqbal.

Ia memarkirkan motornya asal, dan berlari masuk ke IGD. Sabila melambaikan tangannya. Di sebelah Sabila, terbaring Irfan, kameramen Karina yang Iqbal sering lihat di update Insta Story-nya. Kepala Irfan dibebat perban mengelilingi lukanya. Lengan bawahnya pun diperban full. Ada juga beberapa luka lebam di wajahnya.

“Kak?” sapa Iqbal ke Sabila, sekaligus bertanya. Sabila mengangguk.

“Ini teman saya yang polisi, Mas Irfan. Bisa langsung dijelasin aja. Pelan-pelan, ya.” ucap Sabila, ia membantu Irfan untuk berbaring lebih tegak, menambah bantal di belakang kepalanya agar mudah berbicara dengan Iqbal.

“Tadi kita liputan di dalem, Bang. Terus kan pagernya udah roboh, mahasiswa pada masuk, orasi sebentar, terus disuruh mundur. Nah pas mundur ini, agak kacau sih. Ada beberapa yang ditendangin, dipukulin.” ucap Irfan dengan suara parau.

“Nggak tahu sama siapa, ID kita-kita ini ditarik lepas. Saya keseret mundur ke luar. Karina terakhir tuh mau nolongin mahasiswa yang jatuh. Tapi dia malah ditarik ke dalam, sama beberapa mahasiswa itu juga dan beberapa yang lain. Saya udah teriak-teriak, tapi nggak didenger, sampe nggak tahu dari mana ada benda keras pukul kepala saya. Buka mata, udah di sini.” jelasnya lagi.

Iqbal menggosok kepalanya. Kalau sudah begini, sangat sulit untuk mengetahui kemana mereka dibawa. Ada beberapa Polres sekitar yang kemungkinan jadi tempat tahanan sementara. Tapi tak jarang yang kemudian dipindah-pindah.

“Itu pager sebelah mana? Yang kanan atau kiri?”

“Kiri, Bang. Yang jebolnya paling besar.” jawab Irfan.

“Kejadian jam berapa?”

“Bener-bener abis orasi itu Bang, sekitar jam 3an.” jawabnya lagi.

Iqbal memutar otaknya yang sebenarnya kurang bisa berpikir jernih.

“Renner bentar lagi dateng, aku udah kontak. Untungnya dia juga udah selesai tugas.” sahut Sabila. Ia tak tega melihat Iqbal yang biasanya penuh semangat, kini tampak luar biasa cemas.

Iqbal mengangguk, “Udah ngabarin kantor, kan? Kalo bisa cepet aja dinaikkin berita kalo wartawan kalian hilang.”

“Udah, Bang. Tapi barusan aja. Saya juga baru sadar, ya sekitar dua puluh menit lalu.” jawab Irfan.

Iqbal lalu menuju area taman di Medika. Berusaha menata pikirannya. Cukup mudah untuk mengetahui tim mana yang bertugas di area pagar depan. Permasalahannya, setelah ditangkap, tim mana lagi yang memroses? Ia butuh info lapangan yang tidak ia punya saat ini.

“Bal.” sapa Renner. Ia datang dengan Syarla. Paul sudah ia tugaskan untuk menuju gedung DPR dan mencari informasi mengenai pengangkapan mahasiswa tadi. Danil sudah inisiatif keliling Polsek setempat mencari Karina. Sampai saat ini, belum ada info berarti dari mereka.

Iqbal membuka laptop yang Syarla bawa. Ia lalu menyisir CCTV di sekitar gedung DPR. Nihil, tentu saja.

Ia lalu memasukkan memory card kamera Irfan. Ada beberapa wajah yang terlihat. Sayangnya mereka semua bertameng dan memakai helm. Agak sulit dikenali.

Tim Shadow dan PerintilannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang