Note: Sorry yah aku nggak update Shadows of Two Hearts malem ini. Lagi sibuk banget 😭
Untung ada cerita ini di draft yg bakal nyambung jg sbnrnya. Hope u enjoy!
-----------"Tapi, lo setuju sama gue kan, Bal?" tanya Sabila, sedikit menekan.
"Ya, setuju Kak. Tapi ini kan nggak bisa langsung jadi kasus." jawab Iqbal tak kalah serius nadanya.
"Dia yang harus ngelapor, Kak. Kecuali lo saksi langsung, ngelihat waktu dia digebukin sama suaminya." lanjut Iqbal, menghela napas sembari melihat foto-foto di ponsel Sabila.
Sabila menggaruk kepalanya. Ia memang sedang dihadapkan dengan situasi yang rumit. Salah satu pasiennya di IGD, datang dengan luka lebam di badannya. Ia mengaku jatuh dari tangga, tapi luka-lukanya menyerupai korban KDRT. Luka lebamnya di sekitar leher dan bahkan luka di tangan menjiplak jemari akibat cengkraman yang terlalu kuat. Sabila sengaja mengambil foto, ia ijin untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk X-Ray. Padahal ia ingin melaporkannya ke pihak polisi.
Renner sedang ditugaskan di luar kota bersama Paul. Danil sibuk dengan atasan barunya yang katanya sangat keras. Sedangkan Syarla, sedang mengikuti pelatihan selama seminggu. Jadilah, Iqbal yang Sabila hubungi perihal ini.
"Nggak bisa ya, lo interogasi suaminya? Gue rasa ini bukan yang pertama, karena ada luka-luka lama." ucap Sabila.
"Ya nggak bisa, Kak. Atas dasar apa? Lagian, KDRT itu rumit, kak." jawab Iqbal, ia masih memutar otak untuk membantu Sabila, tapi sejauh ini otak encernya belum menemukan solusi.
"Atau... gue viralin aja, gimana? Gue kontak Karina? Kan dia wartawan." sahut Sabila.
"E-eh! Jangan, Kak. Plis, jangan ada Karina di antara kita." jawab Iqbal cepat.
Ia tak ingin memperumit situasi. Dan lagi, hubungan keduanya sedang baik-baik saja.
Iqbal melipat tangannya, "Ini kasus sensitif Kak. Gini aja, mending lo tanya-tanya lagi ke pasien lo, buat dia terbuka dan percaya sama lo. Baru deh, lo bujuk untuk ngelapor."
"Gue coba kontak Clara kali ya, mungkin bisa minta bantuan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) kalau perlu. Nanti gue cari orang PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), kalo dia udah siap lapor. Intinya semua bantuan yang dia perlu gue siapin, deh. Tapi lo yang harus pelan-pelan deketin dia." jelas Iqbal kali ini.
Bukan solusi yang buruk untuk sementara waktu, pikir Sabila.
"Yaudah, besok lo luangin waktu tapi ya. Siapa tau gue berhasil." sahut Sabila. Iqbal pun mengangguk.
⏳⏳⏳
Sabila kembali ke brankar milik Hilda, pasiennya.
Sudah hampir 6 jam Hilda berada di IGD sejak pagi tadi ia masuk, tapi tak ada satu pun orang yang berkunjung. Luka-luka Hilda tidak ada yang fatal, namun cukup parah. Selain lebam di seluruh tubuh, pergelangan tangannya retak - Sabila duga karena diinjak keras, juga lehernya yang kebiruan - mungkin pernah dicekik.
"Gimana, Dok? Saya boleh pulang hari ini?" tanyanya.
"Hmm..belum Mbak. Saya baru mau mindahin Mbak ke kamar rawat inap. Kepala Mbak Hilda kan terbentur, jadi saya harus observasi semalam."
Perempuan itu terlihat kecewa, tapi tidak protes.
"Oh, iya, gimana tadi ceritanya bisa jatuh sampai kepalanya seperti ini?" tanya Sabila.
Kepala Hilda memang bocor sedikit, kini dibebat perban.
"Hm...iya, kan saya gelinding dari tangga di atas, pas mau angkat jemuran." jawab Hilda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Ficção GeralOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.