Hari ini hari yang spesial. Hari ulang tahun almarhumah Mama Renner. Meski Renner tidak pernah mengenal beliau, tapi Papa Renner selalu membawa Renner ke makamnya, setidaknya setahun sekali di hari yang spesial ini. Setelah Papa Renner meninggal, Renner juga tidak pernah absen mengunjungi makamnya, tidak peduli sesibuk apapun di kantor.
Kali ini pun demikian. Bedanya, ia mengajak istrinya ikut.
Ini kali pertama Sabila mengunjungi makam Mama Renner. Sebelum menikah, Renner tidak pernah membahasnya sama sekali. Sabila pun tidak berani bertanya.
Di pinggir makam, Sabila memperhatikan wajah suaminya, tidak ada ekspresi sedih, atau apapun. Ekspresi datar dengan mata teduh, khas Renner. Ketika menebar bunga pun, suaminya itu lebih terlihat seperti melaksanakan kewajiban yang sudah-sudah. Hanya ketika berdoa, Renner memejamkan matanya lama dan terlihat larut dalam pikirannya sendiri.
Setelah lima belas menit, Renner kemudian menggandeng Sabila untuk mengajaknya pulang.
"Kalo Papa gimana? Nggak sekalian dijenguk?" tanya Sabila.
"Papa nggak disini. Papa di TMP." jawab Renner.
"Terus? Nggak mau kesana?"
"Enggak. Kan ini ultah Mama." balas Renner singkat.
Sabila tahu bahwa memang Renner tidak terlalu dekat dengan ayahnya, tapi ia belum sepenuhnya mengerti tentang hal ini. Sampai sekarang, ia belum pernah diajak mengunjungi makam Papa Renner.
"Ca, kamu nggak pengen tahu tentang orang tua kamu ya?" balik Renner bertanya.
"Hmm. Nggak tahu. Aku selalu dilema tentang hal ini. Jujur aja." jawab Sabila.
"Kenapa?"
"Soalnya... Aku ngerasa hidupku udah cukup. Aku bersyukur sama Ayah Ibuku yang sekarang. Rasanya aneh aja, ngelihat ke belakang. Dan aku takut, apapun itu yang ada di masa lalu, aku nggak bisa terima." jelas Sabila, sedikit lirih.
Sabila memang tidak memiliki memori apapun tentang ayah dan ibu kandungnya. Yang ia tahu, mereka telah meninggal ketika ia dibawa ke panti. Tidak ada foto atau apapun yang tersisa. Sabila hanya satu lembar foto dengan neneknya ketika bayi. Lain dari itu, asal usul Sabila sebelum masanya di panti, tak berjejak.
Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kayak.. Gimana kalau orangtuaku meninggalnya naas banget? Atau justru, gimana kalo mereka orang yang nggak baik? Atau...mereka jahat ke nenek aku?"
Renner menoleh ke istrinya, lalu mengangguk, mengelus tangan Sabila yang ada dalam genggamannya. Ia paham. Dan percakapan mereka pun selesai, Renner tidak bertanya lebih lanjut.
⏳⏳⏳
Di umur pernikahan mereka yang baru dua bulan, Sabila dan Renner telah melewati banyak pertengkaran. Menurut Ibu Sabila, ini semua adalah bumbu pernikahan. Sifat keduanya yang sama-sama keras, dan juga ternyata sama-sama tidak mau kalah, membuat semua orang geleng-geleng kepala.
Renner ternyata punya penyakit jahil akut yang menurut Syarla memang bawaan dari kecil. Saat Baim masih balita, ia selalu jadi target keisengan Renner dan Syarla yang harus menghibur adik kecilnya itu. Meski pada akhirnya Renner pasti akan memeluk dan memanjakan Baim lagi. Sifat ini dibawa ke rumah tangganya dengan Sabila.
Sabila punya peraturan yang cukup ketat di apartemen baru mereka. Baju kotor, handuk basah, piring bekas makan, harus selalu kembali ke tempat masing-masing. Tapi Renner akan dengan sengaja menaruhnya dimana-mana dan Sabila yang memang pada dasarnya sudah BM, alias banyak mau, akan mengomel sepanjang hari karena apartemen aesthetic yang ia tata sedemikian rupa berubah seperti kapal pecah. Ini semua bukan karena Renenr malas, tapi ia memang ingin membuat istrinya kesal. Menurut Renner, Sabila tampak lebih menggemaskan dengan kerutan alis dan bibir mengerucutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
General FictionOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.