Wartawan (1)

2.6K 295 49
                                    

Iqbal berkali-kali menengok keluar jendela dari dalam cafe di seberang kantornya. Awak media masih saja membanjiri pintu masuk kantor Polda Metro. Padahal, ia sudah harus di ruangan meeting lima belas menit lagi. Tapi kalau ia mencoba menerobos, sudah jelas para wartawan akan memaksa informasi darinya.

"Belom bisa, Bang. Gue telat meeting nggak apa-apa ya?" sahutnya di telepon. Setelah bercakap cukup alot dengan seniornya dari Tim Cyber, Iqbal pun menutup teleponnya.

"Dasar wartawan-wartawan sialan. Nggak paham apa orang mau kerja." keluh Iqbal.

"Ya, mereka juga lagi mau kerja kali, sama kayak lo." Ttiba-tiba sebuah suara menyambar.

Iqbal menoleh, seorang gadis seumurannya, sama-sama duduk di kursi tinggi menghadap jendela. Ia memperhatikan parasnya, entah mengapa terlihat sangat familiar.

"Tapi ada yang namanya adab, dong. Udah tau gue nggak bisa kasih info, tetep aja gue diteror. Kalo mau, tuh, ngomong sama Kadiv Humas yang baru." balas Iqbal.

"Dan dibohongin lagi? Udah tau polisi susah dipercaya, malah nggak transparan." jawab gadis itu sewot.

"Ya makanya gue tangkep tuh Kadiv jahanam macem Pak Yeri." sahut Iqbal lagi, nadanya sedikit ketus kali ini.

"Oh, jadi bener, lo ada waktu penangkapan?" telisik perempuan itu.

Iqbal kini terdiam sebelum membalas, "Anjirlah, lo reporter ya?" Ia baru tersadar bahwa wajah familiar itu pernah ia lihat di layar kaca.

Gadis dengan rambut sebahu itu kemudian terkekeh, "Hehe, iya. Tapi tenang, gue beradab kok. Nggak bakal publish statement tanpa persetujuan."

Iqbal membuang nafasnya kasar, "Yah kalo lo lakuin itu, gue kenal sama jaksa yang bisa menjarain lo."

Nada Iqbal yang serius, ditambah frustasi karena akan terlambat meeting, terdengar sedikit seperti ancaman.

"Eits nggak usah ngancem kali. Mending lo ikut gue, gue bisa bantuin lo masuk kantor dan nggak telat ke meeting penting lo itu." sahut perempuan itu sekarang, mengangkat bahunya dan memberi kode agar Iqbal mengikutinya.

Awalnya Iqbal ragu, tapi teriakan Bang Rudi di telepon tadi membuatnya yakin untuk mengikuti gadis itu.

Gadis itu keluar dari kafe, berputar lewat samping, lalu mengeluarkan benda-benda dari ranselnya.

"Pake nih." sahutnya kemudian.

Ia memberi Iqbal sebuah lanyard dengan ID card. Lalu rompi berwarna biru tua. Tidak ada logo kantor beritanya tapi berwarna persis seperti seragam yang ia sering lihat di TV. "Ini ID card copy-an. Nggak laku sebenernya, tapi buat kepentingan ini boleh, lah." jelasnya.

Iqbal mengikuti instruksinya. Perkara penyamaran ia sudah cukup jago sekarang.

Kemudian, perempuan itu memberinya kamera yang cukup besar. "Nih, pegang. Lo shoot gue. Sampe depan pager, kameranya langsung dioper aja ke gue."

Iqbal mulai mengerti sekarang. Mereka akan berpura-pura menjadi tim wartawan. Iqbal kameramen, sementara gadis itu reporternya.

Dengan topi, rompi biru, ID card, dan kamera besar, Iqbal bersembunyi di tengah-tengah kerumunan awak media dengan sempurna. Sang Gadis dengan piawainya menyelip diantara gerombolan wartawan lain, mencari jalan agar mereka dapat sampai ke depan pagar. Setelah berada di posisi yang diinginkan, gadis itu berpura-pura melaporkan situasi terakhir. Kemudian ia menangguk, tanda penyamaran mereka sudah bisa diselesaikan.

Iqbal kemudian mendekat dan memberi kamera yang dipegangnya.

"Thanks, ya. Rompi sama ID card-nya gue balikin nanti." sahut Iqbal tergesa. Gadis itu mengangguk, "Gampang." sahutnya.

Tim Shadow dan PerintilannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang