25

1.5K 225 51
                                    

Freen menatap datar rintik hujan yang jatuh. Entah mengapa ia sangat tidak menyukai hujan, di saat kebanyakan orang justru mencintai bahkan memujanya. Di pikiran Freen sekarang hanya satu, yaitu hidup tenang bersama Emily. Kedua matanya terpejam, membayangkan kehadiran Ibu nya yang sangat ia rindukan sejak kecil. Freen tersenyum ketika mamanya mulai memeluk bahkan mencium keningnya. Namun, senyum itu seketika luntur ketika Freen tau jika hal itu mustahil untuk di lakukan saat ini.

Kini Freen sedang duduk gelisah di ruang tunggu bandara, sepuluh menit lagi jadwal penerbangannya. Waktu berjalan begitu lambat disaat dirinya ingin cepat-cepat pergi meninggalkan sejuta kenangan bersama dengan Becky, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kekasihnya itu.

"Semua akan baik-baik saja."

Ucap Marissa sambil menggenggam tangan Freen, mencoba menenangkan Freen yang terlihat tidak tenang. Freen memilih keputusan untuk pergi bersama Marissa tanpa di ketahui siapapun, bahkan Ibu Freen karena menurut mereka hal itu sama saja membocorkan informasi lokasi keberadaan mereka.

Helahan nafas terdengar. Freen mengedarkan Pandangannya ke penjuru bandara, seketika matanya membulat melihat keberadaan Becky dan yang lainnya. Dengan cepat, Freen memutar otaknya. Melirik kearah Emily, sambil tangannya mengetuk-ngetuk gugup pada kursi tempatnya duduk. Dugaan Freen salah, tanpa di beritahu pun kepada siapapun tetap saja keberadaannya akan di temukan oleh Becky.

Meneguk salivannya dengan kasar, Freen bisa melihat Becky bersama segerombolan bodyguardnya bahkan ada Leon, Irin dan seseorang yang tampak seperti Dokter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meneguk salivannya dengan kasar, Freen bisa melihat Becky bersama segerombolan bodyguardnya bahkan ada Leon, Irin dan seseorang yang tampak seperti Dokter. Meskipun kebingungan kenapa banyak sekali orang-orang yang bersama dengan Becky, tapi satu hal yang Freen tau yaitu saat ini dirinya sedang di cari.

"Ka, duluan aja. Ngga usah nungguin aku."

"Loh kenapa? Penerbangan tinggal 5 menit lagi."

"Iya, nanti aku nyusul. Mau ke toilet sebentar, jadi duluan aja."

"Tapi kan--"

"Serius, ngga pa-pa duluan aja."

Freen berusaha tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan, meskipun sebenarnya jantungnya berdebar tidak karunia an seolah ingin terlepas. Matanya melirik kearah Becky yang semakin mendekat tapi terlihat belum menyadari keberadaannya karena kepala Becky celingak-celinguk ke segala arah untuk menemukan dirinya.

"Yaudah, aku tunggu ya."

Ucap Marissa sambil mengelus-elus pucuk rambut Freen kemudian beralih ke Emily yang sedang tertidur. Freen tersenyum sambil menggangukkan kepalanya pelan. Marissa sempat menengok sejenak sebelum akhirnya ia berjalan menuju pesawat yang akan mereka tumpangi tanpa menaruh curiga kepada Freen.

Freen pun bernafas lega, ia langsung mencari tempat persembunyian. Hanya ada satu tempat yang terlintas di pikirannya, yaitu toilet sesuai dengan perkataannya tadi. Freen menautkan kedua tangannya, tubuhnya mulai berkeringat dingin sebagai pertanda bahwa saat ini ia sedang takut. Mulutnya tertutup rapat sambil memikirkan cara agar terbebas, tapi Freen tidak bisa bersama Marissa. Freen tidak mau Marissa kenapa-kenapa karena dirinya.

Selintas ide melintas sekilas. Jika Becky tau Freen berada di bandara maka Becky seharusnya juga mengetahui pesawat yang akan di tumpangi oleh Freen, jadi Freen tidak bisa menuju ke pesawat itu. Hanya ada satu keajaiban yang bisa terjadi, yaitu membuat Becky berpikir bahwa Freen sudah melakukan penerbangannya. Tiba-tiba harapan untuk kabur pudar perlahan, Becky akan tetap mengetahui keberadaan dalam waktu yang lama maupun singkat.

Freen mengintip melalui celah pintu kemudian beralih menatap ponselnya untuk melihat waktu, pesawatnya sudah take off sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini Freen ketinggalan pesawat. Tapi Freen tidak terlalu memikirkannya, ia hanya perlu bersabar menunggu waktu yang tepat. Jika pesawatnya sudah take off maka Becky kemungkinan berpikir bahwa ia kehilangan keberadaan Freen karena tidak dapat ditemukan.

Entah sudah berapa lama Freen bersembunyi di salah satu bilik toilet, ia sama sekali tidak memiliki cara kabur yang kemungkinan besar bisa terlepas. Kemungkinan tidak ketahuan hanya persentase kecil, dengan berat ia memilih keluar. Freen menyeret kopernya keluar sambil menggendong Emily, memakai masker dan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Mulai melangkah sambil menunduk dengan gugup serta hembusan nafas yang berat, sesekali melirik sekeliling.

Seketika langkah Freen berhenti, ia mematung melihat ke penjuru bandara yang hampir setengah ruangan ada bodyguard milik Becky. Setiap orang yang masuk maupun keluar pasti di cek, dan tentu hal itu membuat Freen tidak bisa kabur kemana-mana lagi selain menyerahkan dirinya atau menunggu seseorang yang akan menyadari keberadaannya.

Mata Freen melebar, terdiam sesaat mencoba menarik nafas panjang. Begitupun dengan detak jantungnya yang terasa sepersekian detik seperti berdetak. Becky semakin mendekat, berlari melesat cepat dengan tergesa-gesa. Insting pertama Freen adalah lari tapi anehnya kakinya tidak ingin bergerak bahkan tubuh membeku, tidak bisa bergerak seolah membiarkan sosok itu menggapainya. Hingga Becky berhenti tepat di hadapannya, Freen masih terdiam berdiri kaku.

"Aku.... Aku mau minta maaf."

Kepalanya menunduk, sosok tegap yang selalu Freen lihat memiliki kharisma serta aura yang kuat itu kini tertunduk di hadapannya. Tangan Becky terangkat melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya, memperlihatkan wajahnya yang terlihat khawatir dengan tatapan matanya sendu. Freen tidak pernah melihat Becky kecewa seperti ini sebelumnya, bahkan kedua matanya bengkak seperti menangis berhari-hari.

"Aku menyesal. Aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf kepada mu, dan maafkan aku yang bodoh tidak percaya dengan perkataan mu."

Perkataan Becky, mampu membuat pertahanan Freen goyah. Mengigit bibir bawahnya sendiri, berusaha sebisa mungkin mengendalikan dirinya. Becky melangkah maju, lebih dekat dari sebelumnya. Kemudian matanya melirik ke Emily dan berlatih kembali menatap Freen dengan pandangan pintaan.

"Jangan pergi.... Aku mohon jangan pergi dariku Freen. Aku... Aku tidak bisa."

Freen menundukkan kepalanya mendengar suara Becky yang terdengar dalam, ia tidak kuat membalas tatapan Becky. Hatinya terasa hancur, tapi Freen kembali mengangkat dagunya mencoba memberanikan diri. Tatapan Becky semakin menyedu, wajahnya cemas seperti anak kecil yang memelas takut karena ingin ditinggali Ibu nya.

"Aku......... Bingung Becky."

Ucap Freen akhirnya setelah beberapa detik mereka berdua berdiam an. Tiba-tiba Freen berdecak. Sungguh, melihat Becky memasang tampang seperti ini membuat Freen tidak tega. Becky yang mempunyai tatapan penuh keyakinan itu kini mendadak menjadi kerupuk yang disiram oleh air, letoy.

"Aku akan memberikan mu waktu, tapi tetap bersama dengan ku ya?"

Pinta Becky. Ia tau bahwa Freen sedang membutuhkan waktu untuk berpikir lebih jernih, dan Becky hanya bisa menerima semua permintaan sekaligus keputusan Freen. Mungkin Becky harus menunggu waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan mereka, secara perlahan Becky harus membuat Becky kembali kepadanya.

Tidak terasa senyum Becky mengembang sempurna ketika mendapatkan anggukan pelan dari Freen, ia merasa lega karena Freen tidak jadi meninggalkannya. Tangannya terangkat menangkap kedua pipi Freen yang menjadi tirus, satu alisnya terangkat membuat Freen yang melihat itu ikut keheranan. Tapi tidak berlangsung lama, sebuah kecupan singkat mendarat di keningnya dengan seutas senyuman.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

MONSTER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang