Dengan cepat Alena meraih handuk yang ustadz Rifqi sodorkan tepat di wajahnya, lalu mengenakan handuk tersebut di dalam kamar mandi tak lupa ia menutup pintu kamar mandi kembali.
Ustadz Rifqi melirik pintu kamar mandi yang sudah tertutup, lalu ia menghela nafas lega.
"Dia pikir saya bukan lelaki normal, kah?." Gumam ustadz Rifqi lalu melenggang pergi.
Setelah itu, seluruh keluarga sarapan bersama.
Keadaan hening, hanya terdengar suara garpu dan sendok saja.
"Ekhemm" deheman ustadz Rifqi berhasil memecah keheningan pagi ini.
Semuanya menoleh.
"Ada apa, nak?" Tanya umi Fahila lembut.
"Umi. Rifqi mau ajakin Alena berkeliling di pondok pesantren, kita" jawab ustadz Rifqi berhasil membuat Alena terbelalak.
"Tidak!" Perkataan Afras barusan berhasil membuat semuanya tersentak dengan kening berkerut.
"Apa yang akan mereka katakan jika seorang ustadz, menikah dengan wanita yang sama sekali tak pernah mengenakan hijab!".
Degh
Alena menundukkan kepalanya malu, itu lah yang saat ini ia rasakan tetapi ucapan mertuanya tadi ada benarnya juga.
"Eee, tenang Abi, umi bisa bantuin Alena memakai hijab." umi Fahila mencoba tersenyum, dan di balas anggukan kepala oleh sang putra.
"Percuma berhijab jika sifatnya masih sama seperti sebelumnya!." Setelah melontarkan kalimat menyakitkan itu Abi Afras beranjak dan melenggang pergi mungkin dia sudah tak nafsu makan.
Terdengar helaan nafas dari hidung umi Fahila.
"Kamu mau ikut Rifqi ke pondok pesantren, nak?." Tanya umi Fahila lembut perlahan kepala Alena mendongak.
"Mau ngapain, ke sana?" Tanya Alena.
"saya akan membantu mengajar salah satu kelas karena salah satu ustadznya ada yang sedang sakit" jawab ustadz Rifqi. Alena berpikir sejenak.
"Jadi, bagaimana?" Tanya ustadz Rifqi.
Alena mengangguk patuh,"iya saya mau ikut".
•••••••