27

1.2K 78 3
                                    

"Aku minta maaf mas."

Davema melirik Dinda yang menatapnya takut-takut, saat tiba di aprtemen, ia benar-benar mendiami Dinda. Ia sengaja tidak pulang ke rumahnya, karena jarak tempuhnya lebih banyak memakan waktu jika pulang ke rumah. Jadi, ia putuskan menginap di apartemen untuk sementara waktu.

Davema menelan ludah kelu, melihat Dindanya yang diam-diam menemui Angga benar-benar mengusik perasaannya. "Kamu mengkhawatirkan dia? Hmm?" Perasaan terluka hinggap begitu saja di hatinya. Ia merasa, terusik akan kehadiran Angga.

"Nggak mas, aku menemui Angga karena aku ingin mendengar langsung alasan kenapa kalian bertengkar."

Davema tersenyum miris, "kamu nggak percaya sama aku?"

"Aku percaya, tapi aku juga perlu mendengar dari sisi Angga."

"Lalu? Apa yang kamu dengar hem? Pengakuan cintanya?"

Dinda membisu, Davema terkekeh miris, "setelah kamu tahu kalau Angga benar-benar mencintai kamu, apa kamu akan pergi sama dia?"

Dinda menggeleng.

"Bukannya kamu bilang, dia sudah banyak membantu kamu, membantu mengurus usaha kamu, membantu kamu melahirkan, membantu mengurus putra kita." Davema menggigit pipi dalamnya, "dia menggantikan peranku sebagai suami kamu."

Dinda menunduk, Angga memang membantunya banyak hal, tapi, Angga tidak bisa menggantikan Davema. Sekalipun Davema sudah banyak menghancurkan kebahagiaan dan mimpi-mimpinya.

"Dan, sekarang, aku ngelihat kamu diam-diam menemui Angga, bagaimana jikaa......"

Dinda menatap Davema dengan tatapan sulit diartikan, ia tahu maksud perkataan Davema, air matanya mengalir begitu saja, bagaimana mungkin Davema berpikir hal ini kepadanya? Dinda tersenyum tipis, "Davema, aku tahu, aku memang bukan istri yang baik dan diidamkan oleh keluarga kamu, tapi, aku nggak akan menghianati pernikahan."

"Aku juga tahu, selama awal pernikahan kita, kamu diam-diam menemani Maria yang sakit, makan malam bersama, dan...." Dinda menghentikan ucapannya yang tercekat, "aku juga tahu, kalian pernah hampir melakukannya."

Davema menatap bahu istrinya yang bergetar, demi Tuhan, ia sama sekali tidak menyangka jika Dinda tahu banyak hal.

"Aku melilih diam, karena aku terlalu mencintai kamu, aku menutup mata dan telingaku soal semuanya. Bahkan, saat semua orang meminta kalian menikah tanpa memikirkan perasaanku, aku masih diam berusaha menerima semuanya meski akhirnya aku nggak sanggup dan memilih pergi."

"Jadi? Bagaimana mungkin aku diam-diam berhianat dengan Angga sementara aku nggak mampu melakukan itu Davema?"

Davema membuang wajah dengan air mata yang sama derasnya dengan Dinda. Tangannya mengepal, lalu mengambil sesuatu di balik saku celananya dan menjatuhkan langsung di dekat kaki Dinda.

"Pil pencegah kehamilan, kamu sengaja melakukan ini kan?" Davema memegang pundak Dinda yang bergetar, "kamu nggak mau punya anak dari aku? hem?"

Tangisan Dinda semakin pilu, bagaimana mungkin ia tidak mau memiliki anak dengan laki-laki yang ia cintai? Bahkan, tidak ada orang yang tahu betapa bahagianya dirinya saat pertama kali mengetahui ia mengandung Radja.

Ia tidak pernah sebahagia itu saat mendengar kabar kahamilannya dan membahangkan Davema akan me jadi seorang papa, dan dirinya akan menjadi seorang mama. Lalu, merawat buah hati mereka penuh cinta.

Tapi, kebahagiaannya mendadak lenyap ketika Subagyo mengatakan jika dirinya belum layak mengandung darah daging putranya. Bahkan, saat Subagyo mengetahui kehamilannya, Subagyo memintanya pergi, karena jika tidak, anak dalam kandungannya yang akan berbahaya.

"Aku-aku takut, aku nggak mau seperti dulu lagi mas, aku nggak mau dipaksa pergi saat aku hamil, aku nggak mau papa kamu marah dan memintaku pergi karena aku nggak layak mengandung darah daging kamu. Aku nggak mau." Ujarnya pilu dengan terisak-isak.

Tangan Davema bergetar saat mendengar pengakuan Dinda.

"Aku nggak mau hamil sementara aku harus melihat suamiku bersama wanita lain, aku nggak mau Davema. Aku juga nggak mau anakku nggak diterima dengan baik karena hanya lahir dari rahim wanita seperti aku, aku nggak mau anakku menderita seperti aku. Aku nggak mau anakku nggak di akui sama seperti ibunya. Aku nggak mau Davema."

Davema memeluk istrinya erat-erat, ia tidak ragu menangis pilu di depan istrinya yang sama-sama menangis terisak meluapkan semua isi hatinya yang selama ini terpendam rapi. Ya Tuhan, kemana saja ia selama ini? Ia merasa semakin gagal menjadi seorang suami.

"Saya sangat mencintai kamu Din, maafkan saya Dinda."

"Aku takut." Ujar Dinda lirih dengan suara serak dan tergugu karena menangis. 

"Nggak ada yang perlu kamu takutkan, ada aku, aku nggak akan biarkan siapapun menyakiti kamu, termasuk papaku atau siapapun, bahkan diriku sendiri Din."

Dinda membalas pelukan Davema tak kalah erat, berusaha menyalurkan semua kegelisahan dan ketakutannya pada sang suami. Rupanya, sampai kapanpun, tidak ada pelukan menenangkan selain pelukan Davema. Sedari dulu, Davema tetap pemenangnya.

"Harusnya kamu cerita semuanya dari awal sayang, lain kali, kamu harus terbuka sama aku, apapun itu, bilang sama aku. Kali ini, aku akan lebih memperhatikan kamu lebih dari sebelumnya."

Davema mengelus kepala istrinya, tidak bisa Davema bayangkan selama ini istrinya banyak menanggung semua beban, sedih, ketakutan dan lukanya sendirian. Selama ini, ketenangan yang selalu istrinya tampakkan hanyalah topeng yang membuat semua orang tertipu dengan segala hal penderitaan yang dialaminya.

Mulai saat ini, ia akan jauh lebih banyak memperhatikan istrinya, mencurahkan semua kasih sayang dan cinta lebih besar dari sebelumnya.

"Apapun itu, tolong jangan tinggalkan saya Din."



______________
Jangan lupa vote dan komennya 🤍. Terimakasih sudah membaca ceritaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang