Bali hari ini nampak sangat ramai. Sacha baru menyadari hal ini ketika mobil yang dinaikinya berjalan mendekat ke sisi selatan pulau. Ruas jalanan Bali yang cenderung sempit serta banyaknya motor-mobil berlalu-lalang membuat situasi saat ini terlihat lebih padat.
Setelah menempuh perjalan kurang lebih dua jam, Sacha dan Diego akhirnya mencapai daerah Ubud. Mereka berjalan menyusuri jalan yang relatif sempit-mungkin hanya cukup untuk dua mobil, menuju tujuan mereka yang masih dirahasiakan Diego hingga saat ini. Toko-toko kerajinan tangan serta restoran-restoran yang menyajikan makanan khas mancanegara berjejer dari ujung ke ujung, turut meramaikan suasana kota. Dapat Sacha lihat pula turis-turis baik lokal maupun asing yang berlalu-lalang di atas trotoar.
Bali saat sepi maupun ramai tetap terlihat menarik bagi Sacha. Diam-diam, dia telah membuat sendiri wishlist di kepalanya yang akan dia wujudkan satu persatu nanti ketika semua ini selesai.
'Kembali ke Bali dan jelajahi seluruh isinya.'
Merupakan wishlist pertama yang dia tulis di sana. Ingin rasanya Sacha kembali lagi ke sini untuk mengunjungi setiap sudut pulau ini nanti, jika dia masih diberi waktu.
Jika Sacha masih diberi waktu...
Awalnya, Sacha kira Diego akan membawanya ke pantai-pantai terkenal yang pernah didengarnya seperti Sanur atau Kuta. Tapi, sudah lebih dari dua jam kendaraan mereka tak kunjung berhenti dan malah melaju hingga ke sisi paling selatan Bali.
"Lo mau bawa gue ke mana sih sebenernya?" Sacha bertanya tepat ketika Diego memberhentikan mobilnya di depan lampu merah.
"Just wait and see," yang ditanya menjawab pendek. Lampu merah berganti warna menjadi hijau dalam sekejap dan mereka pun meneruskan perjalanan.
Selama lebih dari tiga jam mereka habiskan di perjalanan sebelum akhirnya, Diego membelokkan mobil mereka menuju pintu masuk sebuah pantai yang kelihatannya tidak seramai yang ada di tengah kota.
"Berdua jadi lima belas ribu, Pak," kata petugas karcis dengan logat Balinya yang khas seraya memberikan dua lembar kertas tiket pada Diego.
"Makasih Pak," timpal Diego sambil menginjak pedal gas dan masuk ke dalam parkiran.
Setelah beres memarkirkan mobil dengan rapi, Sacha dan Diego keluar dari sana. Mereka memandang satu sama lain sampai salah satu di antara mereka akhirnya tak bisa menahan tawa.
"Wow, you look good with that hair."
Itu Diego.
Sacha mengacak-acak rambutnya salah tingkah. Dirinya bingung bagaimana harus menanggapi perkataan Diego barusan (yang entah serius atau tidak), dan memilih untuk melengos berjalan mendahului Diego.
Tepatnya apa yang mereka bicarakan saat ini?
Begini. Di tengah perjalanan tadi, Sacha tiba-tiba berceletuk, "Menurut lo, dengan tampang kita yang nggak biasa ini bikin kita gampang dikenali kalo misalnya kita tiba-tiba ketemu anak buah gue atau anak buah kiriman bokap nggak sih?"
Entah apa yang Sacha maksud dengan tidak biasa itu.
Diego diam sejenak sebelum menanggapi, "Terus? Lo mau kita nyamar?"
"Mhm," Sacha mengiyakan pertanyaan pria di sampingnya. "Diego, kita minimal harus ngelakuin ini supaya nggak langsung dikenali sama mereka."
"And... what is that?" tanya Diego ragu-ragu. Dirinya sama sekali tidak menangkap apa bentuk penyamaran yang dimaksud oleh Sacha.
"Coba lo parkir dulu di depan sana," pinta Sacha menunjuk sebuah salon yang mulai terlihat seiring melajunya mobil mereka ke depan.
Dan begitulah bagaimana akhirnya mereka berakhir dengan tampilan baru masing-masing. Tidak banyak yang mereka ubah. Sacha hanya mewarnai rambut coklat gelapnya menjadi sandy blonde, sementara Diego merubah warna rambutnya cukup drastis dari yang awalnya hitam legam menjadi silver ash.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale's Operation [Doshin] || Completed
FanfictionBagai seberkas cahaya yang menembus gua gelap gulita, Diego datang bak juru selamat bagi Sacha yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia ayahnya yang menakutkan. Menjadi putra dari seorang mafia berdarah dingin membuat Sacha harus menyaksikan keke...