Surabaya ternyata tidak banyak berubah. Baik tiga tahun lalu maupun kini, jalan raya besar itu selalu dipenuhi oleh motor dan mobil hingga kerap penuh sesak. Perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit jika kondisi lancar, terpaksa harus molor hingga lebih dari 90 menit lamanya berkat macet parah yang terjadi.
Diego pikir, Sacha akan membawanya ke sebuah hotel atau mungkin rumah singgahnya yang lain yang terletak di dalam kota ini. Namun, tanpa Diego duga sama sekali, dia malah membawanya kembali menuju bandara.
"Now honey, where are you taking me?" tanya Diego pada Sacha yang berjalan dengan mantap di depannya menuju loket penjualan tiket. Mau kemana sih anak ini?
Sacha tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut hingga sebuah tiket yang sudah diterbitkan Diego terima dari Sacha yang tersenyum manis padanya.
"Bali," ucap Sacha sambil terkekeh.
What...
***
Bali, Indonesia
Yang Sacha maksud dengan 'tempat yang lebih private' itu ternyata adalah ini.
Sebuah villa pribadi yang tak begitu besar, tetapi desain arsitektur serta furniture minimalis di dalamnya terkesan mewah dan berkelas. Villa ini terletak di sisi paling belakang dari daerah Ubud sehingga suasananya begitu tenang dan damai. Sawah dan hutan di sekitar villa ini tampak bagai dinding-dinding pembatas yang mengelilingi mereka, membuat villa ini menjadi 'tempat yang lebih private'.
"Bali kan sejak awal udah ada di bawah kekuasaan gue, jadi di sini udah pasti bakal lebih aman daripada di Surabaya—meskipun sekarang dua-duanya udah sepenuhnya jadi milik gue sih," kata Sacha setibanya mereka di sana. "Make yourself comfortable."
"There seems to be a swift development just in the span of three years? Surabaya sekarang juga udah ada di bawah kekuasaan lo semuanya?" tanya Diego sambil menyelonjorkan kakinya dengan nyaman di atas sofa bed berwarna cream yang ada di sana.
Sacha kembali dengan membawa dua gelas berisi air mineral yang berembun. Dia sodorkan salah satunya pada Diego yang sedang mendongak menatapnya.
"Sorry, but I prefer beer, please," tolak Diego sambil menjauhkan gelas tersebut dari hadapannya.
"Nggak ada lagi bir buat lo. Julio tadi sempet ngabarin gue kalo di Denmark lo jadi lebih sering minum bir daripada air? Seriously, Diego?"
"Well, yeah, that's something I can't help. Tapi sejak gue dateng kemari tiga hari lalu, gue belum minum lebih dari batas toleransi gue kok! I swear."
Sacha memutar bola matanya. "Emang batas toleransi lo biasanya berapa botol?"
"Lima," Diego menjawab sambil mengacungkan kelima jarinya ke udara dengan santai, seakan-akan hal tersebut biasa saja.
"Lo gila ya?" omel Sacha sambil berkacak pinggang. "Lima botol perhari? Nggak, Diego. Lo udah cukup bikin susah ginjal lo selama 3 tahun ini, dan mulai sekarang selama lo ada sama gue, nggak ada lagi bir sama sekali! Ganti pake air putih!"
"No..., Sacha... lo tega misahin gue dari minum bir...? It's literally my daily needs...."
"Stop this bullshit, Diego. I don't wanna have a drunkard as my boyfriend," ancam Sacha galak. "Take this atau lo pacarin aja botol-botol bir kesayangan lo itu dan lupain gue selamanya."
Mulut Diego terkatup. Ancaman yang satu ini benar-benar menyeramkan baginya. Cukup satu kalimat terakhir dari Sacha sudah cukup untuk merubah perilakunya seketika. Diego segera menerima gelas berisi air dingin itu dan meneguk seluruh isinya dalam tiga tegukan besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale's Operation [Doshin] || Completed
FanfictionBagai seberkas cahaya yang menembus gua gelap gulita, Diego datang bak juru selamat bagi Sacha yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia ayahnya yang menakutkan. Menjadi putra dari seorang mafia berdarah dingin membuat Sacha harus menyaksikan keke...