4.0--An Upshot

398 50 59
                                    

"Diego, what's your dream?" tanya Sacha pada suatu siang yang damai kala itu. 

Aroma manis dari perpaduan gula dan tepung yang sedang dibakar serta sepercik wangi pedas jahe yang muncul samar-samar menguar lembut hingga ke ruang tamu, tempat di mana Sacha dan Diego tengah membaringkan badan mereka di atas karpet bulu tebal. 

Setelah menjalaninya selama beberapa minggu, Sacha baru mulai mengerti bahwa hidup dalam persembunyian bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tak jarang dia terbangun di tengah malam akibat rasa cemas yang tiba-tiba menyerangnya. Pikiran buruk serta rasa ketidakamanan tersebut masih terus menempel bersamanya meskipun dia sudah lari sejauh inisiapa sangka dia akan menginjakkan kaki hingga ke Wina?

Memang. Sangat sedikit yang bisa Sacha nikmati dari pelarian ini. Dia memang terbebas secara fisik, tetapi diam-diam, jiwanya masih acapkali terusik. Dan di saat-saat seperti inilah, Sacha bersyukur dia punya Diego di sisinya.

Diego, dengan hati yang telah berbalik sepenuhnya ke arah kasih sayang, terus berusaha membuatnya nyaman. Diego selalu punya caranya sendiri untuk membuat Sacha sejenak melupakan resahnya, entah itu dengan cara membawanya ke tempat-tempat yang indah atau sekedar menghabiskan waktu di dalam rumah dan melakukan hal-hal yang sederhana seperti memanggang biskuit jahe.

"Hm? Why are you asking so suddenly?" Diego balas bertanya sambil memutar badan menghadap Sacha dan menyangga kepala menggunakan satu tangan. Saat ini, mereka tengah menunggu hingga biskuit yang mereka buat matang sambil meluruskan punggung setelah berkutat dengan gula dan tepung di dapur sejak pagi.

"Penasaran aja," jawab Sacha. "Lo kelihatannya punya banyak keahlian, so I guess you must have had at least one big dream that you cherished since you were a kid?"

Diego tertawa. "Having a dream was a luxury to a boy who lived in such a slum area with insufficient sunlight daily like me, Darling," tanggapnya. "I've been so focused on just trying to fill my stomach at the end of the day that the idea of having any grand dream feels completely out of my reach."

Sacha tidak menjawab apapun, tetapi iba jelas tergambar di wajahnya yang tertekuk ke bawah dan telapak tangannya yang mengusap rahang Diego halus.

"Must be hard living in such condition, wasn't it?"

"Nah, sebenernya nggak begitu terasa sulit kalo lo yang ngejalanin langsung. You just have to wake up every day and try to... live, gimanapun caranya."

"What a bizarre mindset you had."

Diego tergelak, entah apa yang dia tertawakan. "Well, I luckily managed to live this far with that bizarre mindset though," Diego menatap jauh ke dalam mata coklat terang Sacha yang bersinar berkat pantulan cahaya matahari dari luar, "and met you too."

Tangan yang awalnya digunakan untuk mengelus rahang Diego lembut kini Sacha gunakan untuk mencubit pipinya keras. "Dasar gombal!"

Keduanya tertawa lebar. Diego kembali menjatuhkan kepalanya di atas karpet bulu itu dan memandang langit-langit rumah yang tinggi.

"But thanks to you, gue jadi keinget sama salah satu wishlist yang pernah gue punya sebelum bokap meninggal and all," celetuk Diego beberapa saat kemudian.

"Really? What was that?"

"It's actually a bit silly so, I don't know whether you'd like to hear it or not but...,"

"Just share it with me! Kenapa lo bilang begitu? Gue mau kok denger semua cerita tentang lo."

Diego tersenyum lembut mendengar sahutan dari Sacha. Volume suara yang sempat mengecil kini kembali meninggi bersama kepercayaan dirinya yang meningkat. "So, there was a strange book slipping in between my academic materials when I was in my high school back then. It was "Gulliver's Travel", karya Jonathan Swift. Familiar with it?"

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang