Post Meridiem

517 62 28
                                    

"Diego, let's run away together with me."

Sacha tiba-tiba muncul di depan kamar gue dengan ekspresi wajahnya yang kacau. Tawaran buat kabur dari rumah yang sempet gue kasih akhirnya diterima.

Sacha yang lagi berdiri di sana dengan muka yang nampak ketakutan nggak tau kenapa sedikit menyentil hati gue buat nenangin dia. Jadi, tangan gue otomatis peluk dia sebentar sampe dia tenang sedikit.

Taktik yang mendadak gue ganti di tengah jalan ini kayaknya berhasil.

Gue beneran serius waktu bilang kalo gue bakal jebak Sacha ke dalam perangkap gue supaya lebih mudah buat nyerahin dia ke Marco di Italia sana. Setelah gue resmi jadi bodyguard-nya, gue berusaha dengan gigih ngelakuin segala cara supaya dia bisa jatuh cinta sama gue.

But once again, he is not an easy one.
Setiap gue lancarkan serangan (godain dia), he didn't shy away at. all. 

Kalo bukan penolakan, Sacha biasanya malah nantang gue balik with his boss card yang akhirnya bikin gue mau nggak mau harus ngelakuin gencatan senjata.

Setelah gagal berkali-kali, akhirnya gue pikir gue harus ganti strategi. Bikin dia jatuh cinta ke gue jelas bukan hal yang gampang karena kayaknya anak itu nggak tertarik sama sekali.

Satu hal yang cukup mengganjal hati gue sejak gue masuk ke dalam rumah ini adalah kondisi dari Sacha sendiri. Awalnya, gue pikir Sacha pasti hidup dengan nyaman dan bahagia di rumah ini diselimuti kekayaan yang didapat dari hasil bisnis gelap ayahnya. Gue pikir, Sacha juga tumbuh jadi pria yang culas dan berhati dingin seperti ayahnya.

Awalnya gue ngerasa nggak adil dengan semua itu. Dia hidup begitu nyaman dengan segala harta dan keluarga yang dimilikinya, sementara gue harus menderita dan hidup sebatang kara di dunia ini karena ayahnya ngambil satu-satunya keluarga yang gue punya. Gue udah siap buat lampiasin kemarahan gue di depan mukanya begitu gue menginjakkan kaki di lantai marmer yang berkilau ini.

Tapi, begitu gue ketemu langsung dengannya, semua kemarahan yang udah sempet membumbung tinggi seketika buyar. Sacha yang gue temui langsung, ternyata kondisinya nggak jauh beda dari gue.

Setiap hari, dia harus ngerjain pekerjaan yang dia sendiri pun nggak sanggup buat melakukannya. Gue nyaksiin sendiri seberapa hebat tangannya bergetar waktu ngacungin pistol ke arah korban utang di ruang tamu itu atas perintah ayahnya.

Gue juga pernah diam-diam kedapatan ngeliat Sacha yang lagi stress ngadepin kasus anak buahnya yang nggak becus dan cuma bisa bikin masalah itu. Selama satu bulan gue tinggal di rumah besar itu, hampir tidak ada satu haripun gue liat lampu di ruang kantor Sacha mati sebelum kedengeran suara ayam berkokok lagi. Is he even get to fall asleep? Gue nggak tau.

Ayahnya sama sekali nggak punya belas kasihan bahkan terhadap anaknya sendiri, entah iblis macem apa yang menguasai dirinya. Gue nggak nyangka kalo di dunia ini bener-bener ada ayah yang cuma ngeliat anaknya sendiri sebagai alat untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri. Satya begitu egois, dan keegoisannya itu sangat merugikan banyak pihak termasuk anak kandungnya sendiri.

Gue akui kalo gue ngerasa kasihan. Tapi, niat awal gue untuk balas dendam jelas nggak bisa dilupakan begitu aja. Gue ngeliat situasi ini sebagai celah bagi gue buat nyusun strategi baru. Strategi yang lebih menarik dan memiliki kemungkinan kegagalan 0%.

Gue bakal ajak dia kabur dari sini, all the way to Italy. Situasi mengerikan yang ada di rumah ini pasti bikin dia tergiur sama tawaran gue dan akhirnya lebih milih buat ikut kabur sama gue daripada tinggal di sini lebih lama lagi. And when we get there, I'll hand him over to Marco.

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang