3.1--A Tale as Old as Time

511 67 71
                                    

"Kalo gitu, kenapa lo nggak ngejar gue lebih awal?" tanya Sacha sambil mengompres luka lebam di wajah Diego menggunakan sebungkus es batu yang dia ambil dari kulkas Mama.

Diego yang tengah menidurkan kepalanya di atas paha Sacha mencebikkan bibirnya. "You kinda miss the point. Alasan gue nggak ngejar lo lebih awal itu karna anak buahnya Marco si brengsek itu tiba-tiba nongol di depan rumah terus mukulin gue sampe bonyok begini!" rajuknya.

Keduanya kini tengah berada di atas tempat tidur Diego. Sacha menyandarkan punggungnya ke headbead sementara dia membiarkan Diego berbaring di atas kedua pahanya yang terbalut selimut sambil mengompres lebam-lebam keunguan di wajah tampan Diego.

Rasanya nyaman. Juga hangat.

Diego baru menyadari bahwa seisi kamarnya kini telah didominasi oleh aroma khas Sacha, dan dia sangat menyukai hal itu. Hingga detik ini, Diego masih diliputi oleh kegembiraannya sendiri hingga dia tidak sadar bahwa dirinya-lah satu-satunya yang mengoceh tanpa henti sejak mereka merebahkan diri di atas kasur. Akhirnya, Diego punya waktu untuk mengatakan semua yang ingin dia sampaikan.

Sacha tersenyum simpul. "Lo sih, nyari penyakit sendiri," oloknya sambil menyentil kening Diego pelan yang membuat Diego pura-pura mengaduh kesakitan di bawahnya. "Nggak usah lebay. Gue bahkan nggak pake 10% dari tenaga gue," ujarnya, "you even deserve more than just a flick on your forehead, Diego," sindirnya dengan senyum yang tak bisa Diego artikan sendiri.

Bibir Diego seketika terkatup rapat. Gawat, sepertinya diam-diam Sacha masih memendam kesal padanya sampai sekarang.

"Mmm... kalo misalnya lo... masih kesel sama gue... mau lo tonjok gue atau tendang gue nggak masalah kok... I deserve to be beaten to death kok... considering all of my evil doings to you... lo bebas mau lakuin apa aja ke gue...," kata Diego terbata-bata. Matanya yang daritadi terpaku menatap Sacha kini mulai berputar ke mana-mana, mencari satu titik di manapun selain mata coklat terang milik Sacha yang kini terlihat mengintimidasinya.

Sacha menyeringai licik. "Beneran ya? Lo serius kan sama kata-kata lo?" tanyanya.

Diego meneguk ludah kemudian dia mengangguk pelan. "Tapi jangan kenceng-kenceng ya... sumpah demi Tuhan muka sama badan gue masih sakit banget...," pintanya dengan wajah memelas. Kali ini, tidak ada lelucon atau ekspresi yang sengaja dia buat-buat. Diego betulan takut Sacha akan benar-benar menghadiahinya pukulan bertubi-tubi.

"Suka-suka gue lah!" sahut Sacha sambil meletakkan bungkus es batu di atas nakas. "Siap-siap ya...," ujarnya kemudian, memberi aba-aba.

Diego reflek memejamkan matanya rapat-rapat. Dia sudah bisa merasakan sesuatu tergantung di atas wajahnya. Ah, itu pasti kepalan tangan Sacha yang sudah siap menambahkan luka baru di wajahnya. Rupanya, Sacha benar-benar serius dengan perkataanya.

Namun, begitu Diego telah memantapkan hati sepenuhnya, sebuah benda lembut mendarat di pipinya alih-alih bogem mentah yang dia antisipasi. Benda lembut itu menempel di pipinya lama sementara jari-jari Sacha menangkup kedua sisi wajah Diego dengan hati-hati.

Sacha mengecup pipinya dalam. Dia biarkan bibirnya menempel di sana cukup lama, seakan-akan tengah berusaha menyembuhkan lebam keunguan yang terdapat di sana lewat kecupan lembutnya. Setelah beberapa saat, dia melepaskan kecupan tersebut disertai dengan suara decit yang menggema keras di gendang telinga mereka berdua.

Diego yang sama sekali tidak menduga hal tersebut lantas membelalakkan matanya. Wajahnya seketika merona merah hingga ke telinga. Tangannya menyentuh titik yang barusan diciumi Sacha barusan.

"Lo nggak jadi mukul gue?" tanya Diego pelan. Dirinya masih terperangah oleh tindakan Sacha barusan.

Sacha terkekeh. "Luka-luka lo udah penuh semuka-muka begini, kalo gue tambahin lagi nanti lo jadi nggak ganteng lagi," jawabnya dengan nada penuh jenaka, "mendingan diobatin pake kecupan penuh cinta dari gue."

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang