Parco Archeologico, Pompei, Italia
Diego memarkirkan mobilnya di depan sebuah situs arkeologi yang dipenuhi oleh reruntuhan bangunan-bangunan kuno yang bermaterial utama batu alam.
Beberapa saat lalu, dia memberitahu Sacha bahwa mereka perlu berjalan ke selatan terlebih dahulu untuk bertemu dengan seorang teman.
"Gue ada janji sama temen, jadi kita perlu jalan ke Pompei dulu yang letaknya agak jauh di selatan. Lo oke kan?" tanya Diego memastikan pendapat Sacha.
Di sebelahnya Sacha mengangguk. Ekor mata Diego dapat menangkap hal itu tanpa harus repot-repot menoleh ke arahnya.
Maka, di sinilah mereka pagi ini.
Sacha meregangkan badannya begitu Diego menarik rem tangan mobil dan mematikan mesin. Enam belas jam perjalanan dari kota Toulouse hingga memasuki Italia benar-benar melelahkan.
Jika saja dia tidak sedang terluka seperti ini, pasti dia akan dengan senang hati bertukar posisi dengan Diego untuk menyetir di pertengahan jalan tadi. Namun apa boleh buat? Musibah memang selalu datang diluar prediksi manusia.
"Sebentar, I need to make a call first," kata Diego sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Hm... mind if I walk around while you're at it?" tanya Sacha. Setelah insiden kemarin, dia akhirnya mencoba untuk berusaha menyempatkan diri meminta izin pada Diego sebelum melakukan sesuatu sendirian.
Diego tampak berpikir sebentar. Matanya menatap ke arah langit selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Sacha pun berdesis girang.
"Tapi jangan jauh-jauh!" tekan Diego sebelum Sacha meninggalkannya.
"Relax, I'm not going far away, at least with this sprained ankle," sahut Sacha berusaha meyakinkannya. Kemudian, dia membalikkan badan dan mulai berjalan menjauhi Diego dengan bantuan tongkatnya.
Ekspresi khawatir yang sempat terbit di wajah Diego perlahan luntur setelah dia menyaksikan sendiri bahwa Sacha kelihatannya telah beradaptasi dengan cepat. Tidak ada tanda-tanda kesulitan yang diperlihatkannya dan Sacha dapat bergerak cukup gesit seakan-akan sepasang tongkat yang diapit di antara kedua lengan telah menjadi bagian tubuhnya sejak lahir.
Diego menghembuskan nafas. Dia pun kembali fokus pada ponselnya untuk mencari nomor seseorang dan menekan tombol telepon di sebelah nomor tersebut.
Suara dering telepon yang mulai tersambung terdengar tiga kali. Pada dering yang keempat, seseorang akhirnya mengangkat telepon Diego dan dia pun mulai berbicara.
"Pronto? Sono io—halo, ini gue," ucap Diego membuka percakapan.
"Sì, sono arrivato—ya, gue udah sampe."
"Sì, sì, l'ascolto...,"
.
.
.Sacha menggerakkan tongkat-tongkatnya melewati jalanan berbatu yang tidak rata. Dia melangkah dengan hati-hati sambil melihat-lihat sekeliling.
Situs reruntuhan kuno ini menguarkan aroma berdebu yang khas. Batu-batu penyusun bangunan yang masih tersisa bagai memancarkan kilau keemasan dari sinar matahari pagi di musim dingin yang terasa lebih hangat hari ini. Berdiri di tempat ini, Sacha seperti dibawa bernostalgia ke masa lalu, dimana peradaban kuno di Pompei tengah mencapai masa kejayaannya.
Di depannya, batu-batu tersusun membentuk sebuah lubang yang dalam. Bentuknya seperti sebuah sumur yang menandakan betapa canggihnya sistem perairan yang ada bahkan sejak zaman kuno.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale's Operation [Doshin] || Completed
FanfictionBagai seberkas cahaya yang menembus gua gelap gulita, Diego datang bak juru selamat bagi Sacha yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia ayahnya yang menakutkan. Menjadi putra dari seorang mafia berdarah dingin membuat Sacha harus menyaksikan keke...