2--An Agreement

642 68 6
                                    

Tak! Tak! Tak!

Suara sendok dan garpu yang membentur piring porselen terdengar menggema dari ruang makan besar yang hanya berisi empat orang itu. Sacha, Ayahnya, Diego, dan Joshua. Siang ini, kebetulan Ayah Sacha sedang tidak memiliki apapun yang harus dikerjakan sehingga dia dapat duduk bersama putranya di ruang makan ini untuk makan siang bersama. 

Biasanya, memang tidak ada percakapan disela-sela kegiatan makan mereka. Sacha dan Ayahnya sama-sama tidak suka berbicara dengan mulut penuh. Maka, keadaan ruang makan selalu lengang dan hanya diwarnai dengan suara benturan sendok-sendok dengan piring porselen, apabila daging yang dimasak oleh koki rumah kebetulan kurang lama.

Hari ini pun demikian. Tidak ada percakapan berlangsung di antara keduanya. Keempatnya terlihat sibuk dengan isi piring mereka masing-masing. Termasuk Diego?

Termasuk Diego.

Meskipun baru satu bulan lebih dia masuk ke dalam lingkaran keluarga ini, Ayahnya terlihat telah memupuk kepercayaan yang cukup tinggi hingga dia diperbolehkan untuk duduk dan makan bersama keluarga inti. Bahkan butuh waktu 3 tahun bagi Joshua, tangan kanan Ayahnya, untuk bisa diizinkan untuk ikut makan bersama Ayahnya. Entah dari mana Ayahnya itu menemukan Diego, tapi yang Sacha ketahui pasti, Diego adalah satu dari segelintir orang yang pandai mengambil hati Ayahnya.

Sirloin steak siang ini entah kenapa terasa lebih hambar dari biasanya. Dia bolak-balik menaburkan garam ke atas potongan dagingnya, tetapi anehnya dia sama sekali tidak merasakan perubahan dari daging itu. Rasanya tetap hambar, bahkan hingga suapan terakhir.

Penasaran, tangannya menyikut pinggang Diego yang duduk di sebelah kirinya.

"Menurut lo dagingnya terasa hambar nggak?" tanya Sacha sambil berbisik-bisik. Dirinya berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

Diego mendekatkan kepalanya pada telinga Sacha dan berbisik, "Hambar, karna gue makan sambil liat muka lo," Diego menjawab usil.

Sacha yang terlihat sama sekali tidak menikmati candaan Diego langsung mendengus kesal sambil menubrukkan kepalanya pada kening Diego yang terekspos sedikit. Sebabkan Diego menjerit tertahan akibat kesakitan.

Sacha memang terlihat seperti seseorang yang memiliki kulit yang lembut seperti kapas, namun ternyata kepalanya tetap sekeras baja. Dapat Sacha lihat kening Diego yang memerah akibat ulahnya, Sacha terkikik kecil.

"Sorry, nggak sengaja," ujarnya sambil menahan untuk tidak tertawa lebih kencang.

"Fuck off." Diego menggerutu kesal. Selama satu bulan Sacha bertemu Diego hampir sepanjang hari, baru kali ini dia melihat bagaimana wajah Diego ketika dia sedang kesal. Sacha tidak bisa menahan kikikan yang tanpa diminta keluar dari mulutnya ketika melihat Diego duduk dengan wajah terlipat di sebelahnya.

"Sacha," panggil Ayahnya menginterupsi, "setelah makan siang, kamu ikut Ayah ke ruang kantor. Ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu," titahnya kemudian.

"Baik, Ayah."

"Diego, setelah ini kamu bisa istirahat sebentar. Tidak perlu menemani Sacha hingga saya selesai bicara sama dia," tambah Ayah yang kali ini pandangannya beralih pada Diego di sebelah Sacha.

"Baik, Tuan."

"Oke, kalau begitu. Sacha, sudah selesai makan kan? Ikut Ayah sekarang."

Siang ini, entah apalagi yang ingin dikatakan Ayah padanya, Sacha tidak tahu. Dengan pasrah dia ikuti langkah Ayahnya menuju ruang kerja di lantai tiga rumah besar itu dan menduga-duga sendiri di dalam hati.

***

"Duduk," kata Ayahnya begitu mereka memasuki ruangan.

Selama beberapa menit tidak ada yang bicara di antara mereka. Ayah Sacha dengan kacamata baca yang terpasang apik di wajahnya, terlihat sibuk memilah-milah berkas di atas mejanya seakan-akan tengah mencari sesuatu yang terkubur di antara kertas-kertas itu.

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang