Ante Meridiem

437 56 12
                                    

Diego, nggak peduli seberapa dalam kamu jatuh atau seberapa banyak milikmu yang mereka ambil, kamu nggak boleh bosen-bosen buat jadi orang baik. Paham, nak?

Itu nasehat dari ayah dulu, waktu kita lagi duduk santai sambil nunggu supermarket di seberang sana tutup sebentar lagi.

Dengan kondisi keuangan yang serba pas-pasan, ayah harus muter otak buat nyari cara supaya bisa ngasih kehidupan yang layak buat gue. Waktu itu, usia gue 12 tahun. Belum terlalu lama sejak nyokap gue kabur dari rumah tanpa alasan dan ninggalin gue berdua sama ayah di rumah.

Salah satu cara ayah buat menuhin kebutuhan sehari-hari di akhir bulan dulu: nunggu supermarket langganan kita mendekati closing time supaya ayah bisa beli produk-produk yang mereka tempel label diskon setengah harga. Cara ini sempet kita lanjutin sampe ayah akhirnya harus pergi ke Indonesia buat cari pekerjaan yang lebih bagus di sana.

By the way, bicara tentang orang baik, gue yang waktu itu masih duduk di bangku SD nggak punya pemahaman khusus waktu denger nasehat yang ayah kasih.

Orang baik yang ada di kamus gue waktu itu, misalnya kayak Juan yang dengan senang hati minjemin mainan remote control-nya yang mahal itu ke gue tiap jam istirahat sekolah; atau kayak Isabella yang suka nawarin bekal makan siang buatan mamanya ke gue tiap ayah lupa masukin kotak bekal ke tas gue gara-gara sibuk jawab telepon dari pabriknya.

Mereka berdua orang baik. Mereka berdua punya sesuatu untuk dibagi. Maka, awalnya gue pikir untuk jadi orang baik, gue harus punya sesuatu yang sifatnya materialistis buat dibagi ke orang lain.

Sementara gue cuma punya diri gue sendiri. Keluarga gue terlalu miskin. Bahkan cuma buat beli bahan makanan pun kita harus rela nunggu supermarket tutup dulu menjelang tengah malam. Makanya, dulu gue pikir, jadi orang baik itu mahal.

Tapi, begitu liat titik-titik keraguan di wajah gue, sambil tersenyum ayah bilang: "kebaikan itu nggak selalu tentang hal-hal fisik yang bisa kamu sentuh wujudnya. Kadang-kadang, kebaikan bisa muncul dari hatimu, misalnya waktu kamu bantu nenek di seberang rumah buat bawa barang-barang belanjaannya ke dalam rumah, atau sekedar menebar senyum ke orang-orang sekitarmu kayak yang biasa kamu lakukan tiap berangkat sekolah."

Setelah itu, gue akhirnya sadar. Selama ini gue udah jadi orang baik tanpa gue sendiri sadari. Detik itu juga, gue seketika ngerasa bangga sama diri gue sendiri. Gue bertekad di dalam hati buat terus hidup sebagai orang baik selamanya.

At least, that's what I was thinking back then when I was still a kid.

But sorry dad. Diego kayaknya nggak ditakdirkan buat tetap hidup sebagai orang baik selamanya.

Denger kabar kalo ayah tewas karena kecelakaan kerja di siang bolong hari itu, pikiran gue seketika kalut. Ada perasaan nggak terima yang muncul karena gue merasa ada sesuatu yang nggak beres di sini.

Dari informasi yang gue terima lewat telepon waktu itu, ayah tewas karena tertimpa alat berat ketika sedang bekerja di sebuah proyek. Maka dari itu, gue nggak bisa bawa pulang jasadnya untuk dikubur secara pribadi.

Meski dipikir-pikir masuk akal, tapi hati gue entah kenapa nggak bisa terima sama penjelasan tersebut. Rasanya kayak ada sesuatu yang mereka coba sembunyikan dari gue.

Sebenernya pekerjaan macem apa sih yang ayah lakukan di Indonesia? Begitu gue pikir waktu itu.

Setiap gue tanya ayah tentang pekerjaannya tiap kita lagi teleponan, ayah selalu bilang kalo dia kerja sebagai freelancer dan selalu dapet jobdesc yang berbeda-beda tiap dapet panggilan kerja. Setelah itu, ayah pasti bakal langsung ganti topik pembicaraan sampe gue hafal dengan pola tersebut.

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang