2.2--A Side Effect

435 55 19
                                    

"Diego?" panggil Sacha sambil membuka pintu kamar mandi utama entah untuk yang keberapa kalinya. 

Dengan dua tongkat yang setia menemaninya, Sacha susah payah mondar-mandir mengelilingi seisi rumah untuk mencari keberadaan rekan seperjalanannya itu. Sacha tidak ingat sudah berapa lama waktu yang terlewat untuk menyisir setiap sudut rumah ini, tapi dapat Sacha rasakan hari mulai beranjak semakin sore. 

Sacha akui dia memang ingin memberi peringatan pada Diego untuk tidak melangkah lebih dekat lagi padanya malam itu. Namun, Sacha sama sekali tidak bermaksud untuk mengusir Diego pergi dan meninggalkannya sendirian seperti ini. 

Berbagai macam pikiran buruk mulai berkecamuk di dalam kepalanya. Sudah beberapa jam dia pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu dan masih belum kembali sampai sekarang. Diego tidak pernah meninggalkannya sendirian selama ini sebelumnya. Sacha tiba-tiba merasa takut.

Daerah ini terasa begitu asing baginya. Selain karena halangan bahasa, tidak seperti Spanyol atau Prancis yang ramai, populasi penduduk di Italia terbilang sedikit hingga rasanya kota ini begitu sepi bagai tak berpenghuni. Jika Diego memang sengaja meninggalkannya sendirian di sini, maka Sacha akan bertepuk tangan karena dia memilih daerah yang tepat untuk membuangnya sendirian.

Diego sialan. Lo kemana sih? gerutunya khawatir.

Satu-satunya hal yang membuatnya masih bisa berpikir positif adalah fakta bahwa dia masih bisa menemukan ransel milik Diego yang tergeletak di dalam kamarnya. Setidaknya, Diego tidak akan pergi terlalu jauh dari sini tanpa ranselnya. Begitu yang Sacha pikir.

Maka, dia memutuskan untuk sabar menunggunya kembali ke rumah. Sacha kembali ke kamar dan mengangkat ranselnya ke atas kasur. Dia berniat untuk menyusun kembali isi tasnya supaya lebih rapi dan efisien.

Ketika hampir semua isi ransel dia keluarkan, Sacha merogoh sesuatu keluar dari dalam sana. Lima botol nail polish beraneka warna dia genggam dalam satu telapak tangannya yang besar. 

Itu milik Maria. Ketika singgah di Salamanca beberapa waktu lalu, Maria memberikan nail polish tersebut sebagai hadiah perpisahan mereka.

"Ini apa Maria?"

"Hadiah dari aku. Nanti kamu pakai bareng-bareng sama Diego ya!" 

Sacha terkekeh. Dia tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Maria ketika dia menghadiahkan botol-botol beraneka warna ini padanya. Dia melebarkan telapak tangan dan mematut kuku-kukunya yang masih terlihat sama cantik meski semburat warna peach yang Maria oleskan di sana mulai memudar sedikit.

Ah... Sacha tiba-tiba rindu Mama dan Maria di Salamanca. Dia juga rindu kehangatan yang tercipta oleh seruan Mama dan Maria yang saling menyahuti satu sama lain; oleh suara ketel yang berbunyi nyaring disertai wangi masakan rumahan yang begitu menggiurkan; oleh suara lembut Mama tiap bicara padanya tentang bermacam-macam hal; oleh suara Maria yang selalu bersemangat dan matanya yang selalu berbinar. Sacha rindu semuanya.

Sacha menyisihkan botol-botol nail polish itu ke sisinya, lalu kembali merogoh ke dalam ransel. Dia menemukan tiga buah kartu kredit dan mengeluarkannya dari sana. 

Sacha selalu memenuhi kebutuhannya menggunakan kartu kredit ketika dia masih menetap di Surabaya. Setiap berdiri di depan kasir, tangannya selalu bergerak otomatis mengeluarkan satu dari tiga kartu kredit yang dimilikinya. 

Maka, ketika dia harus menjalani hidup dengan pola yang baru di dalam persembunyian, Sacha paham apa yang harus dia lakukan. Dia berinisiatif untuk memisahkan kartu kredit dari dompetnya dan meletakkannya di tempat yang sulit dijangkau. Namun, karena tas ransel adalah apa yang dia miliki selain tubuhnya sendiri saat ini, maka dia meletakkan kartu-kartu itu di sisi paling dalam ransel dan mereka aman di sana.

The Nightingale's Operation [Doshin] || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang