Bab 6

5.4K 212 1
                                    

Perpikir jikalau tinggal berdua seharusnya lebih memiliki peluang banyak untuk saling mengenal dan menembuhkan benih-benih cinta. Maka pikiran itu keliru. Karena Jonatan yang sekarang justru kian membentang jarak dangan bersikap cuek. Padahal -lalu-lalu ia dipenuhi oleh kasih sayang yang mana membuat Rubi berasumsi jika lambat laun suaminya akan mencintainya.

Kini, genap satu bulan mereka tinggal terpisah dari keluarga. Dan dalam jangka waktu itu, Jonatan memang tidak bersikap seperti biasanya bilamana pergi ke kantor. Lelaki itu, tidak lagi mencium kening Rubi seperti hari-hari kemarin. Tidak ada ucapan manis. Bahkan tidak ada kontak fisik seperti yang perna dijanjikan walaupun mereka sudah tinggal terpisah dari keluarga. Lantas ke mana semua janji Jonatan?

Rubi yang menyadari perubahan-perubahan itu hanya menyimpan perasaan sakitnya dalam diam. Disaat ketika hatinya berperang akibat perlakauan sang suami, saat itu pula alam bawa sadar akan menyadarkannya perihal pernikahan mereka. Tidak ada cinta dari satu pihak. Tidak ada alasan jelas dari pihak itu pula. Lantas pantaskah Rubi menuntut untuk dicintai jika alasan dibalik ia menerima lamaran Jonatan dengan tujuan lain yakni menyelamatkan diri dari rasa sakit hati dan cemburu meski di dalamnya terselip rasa suka terhadap suaminya? Oleh karenanya, Rubi merasa ia lebih pantas diam dan melakukan hal-hal yang mungkin bisa menarik perhatian suaminya. Dari pada menuntut untuk dicintai.

Seperti sekarang, Rubi tengah memijat punggung suaminya walau pada mulanya ada keengganan dari Jonatan. Bukan Rubi namanya kalau tidak bisa meluluhkan Jonatan. Walapun ya, Rubi memang agak suka memaksa. Sehingga mau tidak mau Jonatan berpasrah diri.

Sementara perihal-perihal kecil mengenai pertengkaran tak berarti tadi telah ditepis jauh oleh Rubi. Dalam khasus ini ada baiknya salah satu diantara mereka bersikap tenang dan mengalah sehingga masalah tidak berkepanjangan. Dan Rubilah pihak yang mau mengalah dan memulai pendekatan terhadap suaminya. Untungnya, Jonatan memiliki sikap menerima sehingga masalah tadi tidak berlarut.

"Kalau semisa aku pergi dari kehidupan kakak. Apa kakak akan merasa kehilangan?" Tiba-tiba saja Rubi mempertanyakan hal konyol. Meski begitu, ia ingin sebuah jawaban serius dari pertanyaan konyol yang ia lontarkan.

Sejenak terdengar helaan napas Jonatan. Namun, tak lama berselang ia menjawab,"Memangnya kamu mau mati?" pertayaan yang dibalas pertanyaan membuat rahang bawah Rubi menjuntai. Ia tak habis pikir jika Jonatan akan membalasnya dengan pertanyaan yang sangat amat luar bias membuat Rubi gemas ingin memukul kepala sang suami. Maksud dari perkataan Rubi bukan seperti itu, pergi yang ingin ia maksudkan berbeda. Bukan mati. Spesifiknya adalah cerai atau kemungkinan pergi keluar kota tanpa kabar. Ya, tepatnya seperti itu.

Rubi mendesah pelan. Ia sebetulnya jengkel atas jawaban yang jelas adalah sebuah pertanyaan."Iya, mungkin itu bisa menjadi salah satunya." Katanya sambil mengedikan kedua bahu.

Tertegun sesaat hingga akhirnya Jonatan menjawab."Kalau sudah menjadi garis takdir. Saya tentu akan mengikhlaskan meski berat." Rubi mendesah panjang. Seharusnya dari awal ia tidak perlu mengajukan pertanyaan konyol ini jika ujung-ujungnya ia tidak menemukan jawaban yang sesuai dengan harapan.

Sejenak pijatan Rubi berhenti mana kala memikirkan jawaban Jonatan. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan jawaban ini hanya saja Rubi merasa kurang puas.

"Seandainya kakak terlanjur jatuh cinta sama aku terus aku meninggal apa kakak benar-benar bisa mengikhlaskan?"

Lagi. Jonatan tertegun sebentar. Ia tampak sedang berpikir keras dan itu bisa diperjelas melalui kerutan didahinya.

Namun, karena tak kunjung mendengar sahutan dari suaminya. Rubi berinisiatif menceritakan sebuah kisah seputar pertanyaan terdahulu."Kakak tau, ada seorang kakek yang ditinggal mati oleh wanita yang dia cintai. Kira-kira puluhan tahun yang lalu. Kalau nggak salah usia mereka baru 20-an tahun. Tepat saat itu istrinya meninggal akibat sebuah penyakit mematikan. Tepat saat itu pula, kakek merasa terpukul dan terpuruk. Karena saking cintanya sang kakek terhadap istrinya ia memilih menduda sepanjang hidup dengan merawat anaknya. Sewaktu ditanya kenapa nggak menikah lagi? Dengan santai kakek itu akan menjawab dengan kalimat yang sama 'Menikah sekali. Mati sekali. Kami telah berjanji untuk setia sehidup semati. Lantas dimana simbol ikrar yang kami ucapkan didepan Tuhan jika pada akhirnya aku menikah lagi? Kami hanya berpisah sebentar. Karena suatu saat nanti, kami akan berkumpul bersama jika memang sudah waktunya'."

"Aku rasa, nggak ada yang salah dengan ucapan kakeknya. Sekarang semuanya tergantung pada orang yang ditinggal. Ada dua pilihan seseorang mengikhlaskan pasangannya. Pertama; mengikhlaskan dengan cara mencari pasangan baru sebagai tujuan melanjutkan hidup. Kedua; mengikhlaskan dengan cara mengenang orang yang pergi tetapi tetap melanjutkan hidup."

"Aku hanya berharap, suatu ketika apabila aku dipanggil pulang. Aku akan dikenang seperti point kedua walau itu terkesan egois. Tapi, aku nggak yakin akan hal itu. Karena kakak adalah Jonatan." Rubi tertawa kecut. Sejatinya, ia merasakan sakit. Tetapi, Rubi tidak mengerti tentang apa rasa sakit ini terbentuk?

"Ngaco. Udah ngomongnya?!" Berpaling sebentar, Jonatan menatap kesal wajah sendu istrinya.

"Ternyata dengarain kamu jauh lebih melelahkan daripada pekerjaan kontor." Mengabaikan semua ucapan sang istri, Jonatan bergegas bangun dari duduknya lalu bergerak ke arah kamar.

Rubi sendiri, duduk diam di tempat dengan tatapan kosong. Macam-macam hal yang tengah dipikirkan. Namun, satu hal yang mengganggu pikiran Rubi adalah ia merasa telah melakukan kesalah besar dengan menerima lamaran itu. Karena sejatinya rasa cinta Rubi untuk Jonatan sangatlah besar. Sedang Jonatan? Rubi tidak menemukan tanda-tanda cinta di matanya. Lantas dengan alasan apa Jonatan mau menikahi Rubi? Kenapa harus Rubi?

Semenit kemudian Rubi menyusul. Membukan pintu perlahan, ia mendapati Jonatan yang tengah mengerjakan sesuatu pada leptop.

Perlahan-lahan Rubi kembali menutup pintu lalu berjalan ke arah ranjang.

Matanya terpusat pada Jonatan. Namun, lelaki itu tidak sedikitpun merasa terusik dan menatap sebentar kearahnya.

Mendesah pelan, Rubi menaiki ranjang lalu membaringkan diri. Matanya tidak perna lepas memandangi sang suami. Rubi berharap Jonatan akan bersikap manis seperti hari-hari yang lalu. Rasanya Rubi seperti diabaikan. Jonatan seakan-akan sengaja memberi jarak.

"Kak?!"

Tidak ada sahutan. Jonatan terlalu larut dalam pekerjaannya. Alhasil suara yang sama kembali memanggil."Kak?!"

"Hmm." Berpaling sebentar Jonatan menatap kesal. Lalu selebihnya ia kembali berkutat pada leptopnya.

Rubi tersenyum kecut. Jonatan tentu saja merasa terganggu sehingga tampak kesal. Artinya Rubi salah karena sudah mengganggu suaminya.

"Kakak kelihatan lelah. Sebaiknya kakak tidur." Tegur Rubi merasa perduli. Lebih-lebih suaminya tampak kelelahan.

"Saya hidup bukan untuk bersantai, Rubi." Balas Jonatan tanpa menoleh.

Rubi bergeming. Membiarkan Jonatan melakukan pekerjaannya. Semakin Rubi berbicara banyak, Jonatan tentu akan semakin kesal. Ada baiknya Rubi diam.

Setiap detik dan menit telah berlalu. Sudah sejam lebih Jonatan berkutat dengan leptopnya sementara Rubi berbaring sambil mengamati suaminya.

Tampak beberapa kali Jonatan menguap lebar sambil mengucak mata. Jelas-jelas lelaki itu mengantuk. Tetapi, Jonatan terus-terusan mencoba menahan diri. Rubi tidak mengerti kenapa Jonatan memaksakan diri.

Begitu melihat pergerakan sang suami, secara intuisi Rubi memejamkan mata. Rubi sendiri tidak mengerti kenapa ia berpura-pura tidur padahal ia belum tidur.

"Menyebalkan!" Jonatan menggerut sebal.

Dada Rubi mendadak berdetak cepat. Ia merasa jikalau umpatan itu ditujukan untuknya. Meskipun ia sangsi.

Samar-samar ia mendengar langkah Jonatan. Seperti dugaan, Jonatan memang bergerak ke arahnya karena setelahnya Rubi merasakan ranjang bergoyang.

"Seharusnya saya tidak menikahi wanita ini." Gumam Jonatan yang sudah merebahkan tubuh disamping Rubi. "Merepotkan." Sambungnya.

Lagi. Dada Rubi berdetak kencang dan dalam satu ketukan menghasilkan pukulan yang besar.

Dibalik topeng kepura-puraan, Rubi menahan diri. Jangan menangis, Bi. Jangan menangis. Jangan. Kamu sialan, kalau menangisi lelaki ini. Jangan menangis. Dalam hati Rubi menguatkan diri. Sebagai bentuk penyaluran semua pergejolakan yang dirasa kedua tangan Rubi meramas kuat selimut yang dipakai.

Dan, kini Rubi merasa langkah yang diambilnya buntuh. Sepertinya Rubi hanya akan menyiksa mentalnya untuk yang kedua kalinya.

Publis; Minggu 21 April 2024

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang