Bab 31

8.5K 257 7
                                    

Jonatan tahu ini salah. Bahwa perbuatannya telah melanggar komitmen yang dibuat. Tetapi, salahkah ia meminta kepastian atas ucapan Radit melalui Rubi? Jonatan hanya berpikir jika ucapan Radit ada benarnya. Bisa jadi anak yang di kandung Rubi benar anaknya. Namun, yang menjadi persoalannya adalah apa yang harus ia perbuat jika memang betul itu anaknya sedang mereka tidak dalam sebuah ikatan sementara ibu dari anaknya telah memiliki ikatan bersama lelaki lain? Sial ... Jonatan merasa serba salah dan sungguh amat tertekan juga sengsara.

Begitu mobil Radit melintas keluar dari pekerangan rumah Rubi. Jonatan mengambil kesempatan tersebut untuk bertemu wanita itu. Jonatan ingin memastikan segalanya saat ini juga__apaun yang terjadi.

"Rubi." Jonatan memanggil lirih dan dengan cepat Rubi menoleh ke arahnya.

Rubi tidak menyangka bilamana Jonatan sampai mengikutinya ke sini. Padahal sejak tadi, lelaki itu tidak ingin repot-repot membuka mulut untuk berbicara. Mereka seperti dua orang asing.

"Maaf apabila saya lancang bertemu kamu malam-malam. Ada hal penting yang mau saya tanyakan." Jonatan mendekat. Segalanya di luar rencana. Tidak tersabit dalam pikirannya untuk menemui Rubi seperti sekarang. Apalagi mengganggu rumah tangga Rubi. Jonatan tau diri. Namun, ini mendesak.

"Ya, silahkan." Rubi berkata cukup tenang. Namun, pancaran keterkejutan masih tampak dengan jelas pada raut wajahnya.

"Alangkah lebih baik kalau ada Miska. Saya tidak mau nantinya Miska berpikir yang macam-macam tentang kita."

Rubi menggeleng sambil tersenyum yang mana membuat Jonatan mengernyit bingung.

"Saya salah?" Jonatan bertanya keheranan.

"Ya. Kenapa Miska dibawa-bawa?"

"Dia suamimu!"

"Suamiku?" Rubi tertawa. Sangat lepas, membuat Jonatan semakin kebingungan.

"Miska?!" Lagi. Rubi masih mentertawakan Jonatan.

"Miska teman, sahabat dan saudara. Bukan suami."

"Radit bilang dia suami kamu."

"Oh. Selamat, artinya kakak di tipu."

"Sial ... awas Radit." Jonatan menggeram. Namun, ia cukup handal mengendalikan luapan itu di depan Rubi.

"Jadi ... " Ia menjeda. Sedang mencoba menata hatinya atas pertanyaan yang ingin dilontarkan. Sebenarnya di dalam sana, hatinya. Ia merasa ada pergerakan yang cukup besar yang berhasil mengetarkan tubuhnya.

"Ya." Rubi menyahut pasti. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Jonatan.

Lelaki itu mengangguk kikuk. Wajahnya berubah murung, dingin dan pucat. Lalu___ia melangkah mundur ... selangkah, dua langkah, tiga langkah dan yang terjadi selanjutnya adalah lelaki itu membelikan badan lalu pergi meninggalkan Rubi yang kebingungan.

Hanya itu? Begitulah sekiranya yang terlintas di raut wajah Rubi.

Kemudian yang Rubi lihat berikutnya adalah Jonatan yang mengemudikan mobil pergi dari halaman rumah.

Jonatan, entalah? Ia kesulitan mendeskripsikan segala hal yang sedang ia hadapi. Bahkan tanpa pamit ia pergi meninggalkan Rubi yang barangkali bertanya-tanya tentang keanehannya.

Padahal Jonatan ingin memeluk Rubi, menyalurkan rasa syukurnya atas wanita itu yang kelihatan sehat. Karena dengan begitu, tentu saja anak dalam rahimnya akan sehat. Tetapi, tidak bisa! Jontan telah mengabaikan mereka. Memishkan diri selama berbulan-bulan disaat dibutuhkan. Rubi, wanita itu, pasti kesulitan melewati masa-masa kehamilan awal. Pasti berat! Dan Jonatan merasa dirinya tidak pantas berdiri di depan Rubi barang sebentar.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang