Bab 12

6.6K 256 2
                                    

Sepulang kantor, Jonatan tidak mendapati Rubi seperti hari-hari kemarin. Jika tidak keroke, Rubi akan menyibukan diri dengan menyaksikan siaran televisi. Mungkin sekali dua kali tampak Rubi yang mengobrol santai bersama bi Mina. Atau mungkin membaca novel sambil rebahan pada sofa dengan kondisi televisi yang dinyalakan dengan volume maksimal.

Sekalipun ada pertengkaran diantara mereka, keesokan hari segalanya seperti tidak perna terjadi. Rubi akan kembali memasang senyuman sementara Jonatan akan bersikap tidak perna ada yang terjadi. Dan ya, itulah yang sering terjadi.

Hari ini sedikit berbeda. Rumah tampak sunyi seperti tidak berpenghuni. Rasanya agak aneh. Mungkin Jonatan mulai terbiasa dengan keributan tak berarti yang sering ditimbulkan Rubi.

Wanita itu memang suka berisik. Meski terkadang menyebalkan namun ia mulai menerimanya.

Mata Jonatan langsung dilarikan ke seluruh penjuru ruangan. Matanya mencari-cari sosok berisik yang siap menghiburnya dikala lelah akibat aktivitas kantor. Bagi, Jonatan, sambutan Rubi adalah paket relaksasi komplit yang bisa mengusir tekanan pikiran. Jonatan senang setiap kali pulang lalu disambut antusias oleh istrinya. Jonatan menyukai saat-saat itu. Meski ia tahu telah banyak melukai Rubi.

Sayangnya, kini Jonatan tidak menemukan sosok Rubi di manapun. Hingga akhirnya ada sosok lain yang datang menghampirinya.

"Rubi mana, Bi?" Tanpa basa-basi Jonatan langsung menanyakan keberadaan Rubi. Entah mengapa Jonatan merasa ada yang kurang. Tidak enak saja jika pulang tanpa senyuman Rubi.

Jonatan meletakan secara asal tas kerja pada meja. Lalu mendudukan diri pada sofa, tempat di mana biasanya Rubi menghabiskan waktu hanya untuk menantinya pulang.

Dengan telaten, tangan-tangan besar Jonatan membuka ikatan dasi yang seolah semakin mencekiknya. Lebih-lebih saat ia tidak menemukan keberadaan Rubi. Padahal Rubi tidak perna absen menyambutnya meski hanya untuk sehari.

"Nyonya belum pulang tuan." Kedua alis Jonatan hampir menyatu begitu mendengar jawaban bi Mina.

Jonatan mendongak cepat, menatap penuh tanya bi Mina yang memang sedang berdiri di sebelahnya."Kapan perginya?"

"Tadi siang, tuan."

Jonatan diam. Sedang otaknya berkelana memikirkan ke mana pergi Rubi sampai belum pulang-pulang. Padahal hari mulai gelap. Tidak biasanya Rubi seperti ini. Lebih-lebih Rubi yang tidak memiliki pekerjaan. Kalaupun Rubi mau pergi, istrinya selalu akan memberi kabar. Meski selalu diabaikan olehnya.

Sekarang, rasanya ia menjadi sosok yang plin-plan. Ada saat-saat tertentu ia membenci wanita itu namun ada saat-saat tertentu juga ia membutuhkan Rubi.

"Mau saya buatkan kopi atau sesuatu untuk dimakan, tuan?"

Jonatan menggeleng, menolak. Sialnya, pikiran Jonatan tidak di sini. Ia bahkan tidak sadar apa yang diucapkan bi Mina. Jonatan hanya asal menggelengkan kepala.

"Kalau begitu saya permisi ke belakang, tuan."

Jonatan mengangguk. Setelah bi Mina menghilang dari pandangannya, Jonatan menarik napas panjang.

"Sial .... " Jonatan meraup wajah frustasi. Ia benar-benar lelaki plin-plan.

Jonatan membutuhkan wanita itu untuk menghiburnya. Namun lelaki itu kerap kali menyakiti hati Rubi. Jonatan selalu dalam keadaan sadar dan tahu kalau ucapan serta perlakuannya dapat melukai Rubi. Namun, ia selalu mengulangi hal yang sama, yakni melukai Rubi. Tetapi, jika ditinggal barang sebentar Jonatan merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Rubi. Sepertinya ia terlalu menggantungkan diri pada Rubi!

Sejam sudah Jonatan menunggu Rubi dengan kondisi badan lelah dan letih. Lebih-lebih ia yang belum mandi dan mengganti pakaian.

Berbagai posis duduk telah Jonatan peragakan. Begitu pula dengan posisi tidur. Tubuh Jonatan rasanya pegal-pegal semua. Namun, lelaki itu tetap bertahan pada posisnya demi menunggu kepulangan Rubi. Sayangnya, Rubi sampai sekarang tak kunjung pulang.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang